Pada sebuah artikel yang pernah dibaca oleh penulis mengatakan bahwa seorang staf khusus ketua DewanPengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo mempersolkan intoleransi di Indonesia.
Dia mengatakan bahwa kasus Intoleransi di Indonesia makin tahun, makin meningkat. Kasus yang dominan soal intoleransi adalah pendirian rumah ibadah yang sangat sulit dan hak-hak minoritas yang sering terabaikan. Selain itu, minoritas sering merasa sulit soal pemakaman karena pihak pengelola makam keberatan jika ada jenazan non islam dimakamkan di wilayah mereka.
Dengan tegas Romo Benny -- demikian dia sering dipanggil-, mengingatkan jangan sampai Pancasila yang dikagumi oleh bangsa asing karena dianggap mampu mengelola perbedaan yang sangat besar di Indonesia -hanya dianggap slogan semata. Kita bisa melihat di beberapa acara televisi bagaimana seorang siswa yang diminta melafalkan Pancasila akhirnya ketahuan bahwa dia tidak hafal.
Tidak saja tidak hafal tapi nilai moral dan sosial yang seharusnya dimiliki oleh seorang anak sering tidak mencerminkan keindonesia-an kita. Padahal penanaman nilai-nilai Pancasila ini harus ditanamkan sejak dini dan masuk dalam kurikulum pendidikan.
Dengan basis itu, maka seharusnya tidak ada kompromi terhadap kaum intoleran di berbagai bidang, baik pendidikan, di bidang agama itu sendiri, bidang profesi dan sebagainya. Singkat kata negara harus hadir untuk menindak tegas kaum intoleran.
Hanya saja pada tataran lapangan kita sering menemui kebijakan atau sikap ambigu. Bahkan beberapa kasus ada penyangkalan (jika ada pihak melakukan sikap/tindakan) intoleran. Penyangkalan adalah sikap yang merupakan mekanisme pertahnaan ego psikologis yang dikemukakan oleh Freud. Kondisi ini semisal ada seseorang yang dihadapkan dengan fakta yang membuatnya tidak nyaman untuk diterima dan malah menolaknya serta bersikeras bahwa fakta itu tidak benar meskipun bukti-buktinya berlimpah.
Contoh tindakan intoleran yang disangkal ini banyak. Terakhir adalah penutupan patung Bunda Maria di sebuah rumah doa di Kulon Progo. Sejatinya patung itu terletak di ruang privat karena ada di halaman rumah doa itu. Sekelompok ormas yang kebetulan memang dikenal sebagai ormas intoleran merasa keberatan karena dianggap menganggu. Sebuah proses dilakukan oleh aparat dan kemudian patung itu ditutup oleh pihak pemilik.
Tak hanya sampai di situ, beberapa wartawan yang meliput kasus patung Bunda Maria ditutup terpal juga diintimidasi.
Segala hal diatas jelas berkatagori intoleransi dan sayangnya ini dibantah oleh aparat keamanan dalam hal ini polisi. Bahkan Kapolres Kulonprogo menyatakan bahwa ini bukan bentuk intoleransi, karena penutupan patung itu akhirnya dilakukan oleh pihak pemilik. Inilah yang saya maksud sebagai penyangkalan bahkan oleh aparat sendiri (meski kemudian Kapolres itu dimutasi).
Puluhan kasus penyangkalan ini terjadi di Indonesia dan membuat warga tidak belajar peka bahwa hal ini adalah bentuk intoleransi dan seharusnya tidak dilakukan.