Mohon tunggu...
Dani Iskandar
Dani Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kematian Ibu Kaya Raya

22 Desember 2018   14:49 Diperbarui: 22 Desember 2018   14:57 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebelumnya saya ucapkan Selamat Hari Ibu buat para Ibu yang telah Melahirkan, Membesarkan, Berjuang demi Kehidupan Keluarganya dan Bangsa ini.

Jumat, 21 Desember 2018, sekitar pukul 06.30 pagi, terdengar sayup-sayup suara pemberitahuan kemalangan dari speaker mesjid di lingkungan kami. Terdengar pula suara percakapan ibu saya di telepon dengan seseorang. Saya mau mandi untuk berangkat kerja. Ternyata semua kejadian tadi berhubungan satu sama lain. Yang menelepon ibu saya adalah seorang keluarga dari Aceh yang mengabarkan bahwa seorang Ibu yang Kaya Raya yang menjadi tetangga kami itu baru saja meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Medan. Dan pengumuman dari mesjid itu pun pemberitahuan kabar duka Ibu tersebut. Ibu kaya raya ini sudah beberapa tahun terakhir menderita sakit diabetes dan beberapa kali masuk rumah sakit karena tensinya naik. Kondisi terakhirnya dalam keadaan tidak bisa berjalan dan hanya duduk di kursi roda. Tensi si ibu kembali tinggi hingga menyebabkannya harus dirawat di rumah sakit hingga akhirnya meninggal dunia.

Uang Bukan Segalanya

Ibu yang kaya raya ini dulunya seorang yang biasa-biasa saja hingga suatu ketika ia mendapatkan hak waris dari kakaknya yang seorang kaya raya di Jakarta. Kehidupannya pun berubah drastis. Di Medan ia memiliki sebuah rumah besar, sebuah usaha laundri dan sebuah ruko yang disewakan pada ekspedisi. Ibu ini sudah lama ditinggal mati suaminya. Ia memiliki tiga orang anak, dua lelaki dan satu perempuan. Anak perempuannya pun sudah lebih dahulu meninggalkannya disebabkan sakit. Sang mantu seorang yang hanya memanfaatkan harta kekayaan si ibu hingga akhirnya diusir oleh anak laki-laki si ibu. Kedua anak laki-laki si ibu tidak berada dekat dengannya. Yang paling tua seorang Jaksa yang saat ini bertugas di Sulawesi sedangkan yang bontot adalah seorang arsitek di Jakarta.

Sehari-hari si ibu hanya ditemani para pembantu saja. Seorang yang mengurusi laundri dan kos-kosan, seorang sopir dan 2 orang yang menjadi asisten mengurusi kebutuhan ibu. Anak cucu semua di Jakarta, kecuali cucu dan menantu yang diusir itu berada di Medan. Semua kebutuhan diurus oleh para pembantu yang semua biaya mengalir dari anak-anaknya di Jakarta. Ibu saya sendiri sudah jarang main dan menjenguk tetangga kami ini disebabkan ibu tersebut sudah 2 tahun belakangan ini mulai lupa ingatan. Ibu saya dipanggilnya seperti nama menantu dari anak ketiganya. Dia sudah banyak lupa nya. Maklum umur sang ibu kaya ini sudah mencapai 80an tahun.

Saya sebelum berangkat kerja dan ibu saya menyempatkan mampir ke rumah tetangga kami ini. Ternyata janazah sang ibu kaya masih di rumah sakit. Hanya ada beberapa tetangga, ibu-ibu yang kebingungan disana. Tidak tahu mau berbuat apa, hanya menyapu, menggelar karpet, tidak tahu dimana kasur untuk jenazah nanti, kamar dikunci, banyak cctv, pembantu semua ke rumah sakit. Semua hanya bisa menunggu.

Kondisi seperti ini sih di zaman serba modern ini hampir kita temui di setiap tempat. Kita menganggap dengan Uang kita bisa berbuat segalanya. Anak si ibu kaya, setiap 2 minggu sekali atau sebulan sekali datang ke Medan, membawa ibunya jalan-jalan, senang-senang. Tetapi, di saat terakhir sang ibu pergi, tetap anaknya tidak ada yang menemaninya, hanya pembantu yang tidak bisa berbuat banyak.

Tidak ada yang disalahkan dalam kondisi seperti itu. Saya yakin sang anak telah membujuk, berusaha membawa sang ibu nya tinggal bersama mereka atau dekat dengan mereka, tetapi kebanyakan orang tua menolak meninggalkan tanah kelahirannya.

Saya sendiri mengorbankan pekerjaan, karir, jabatan dan semua yang telah dibangun di Jakarta untuk bisa dekat dan mengurus orang tua. 2 bulan saya rawat, ayah saya pun meninggal. Tetap saja ibu saya tidak mau ikut dengan kami tinggal di Jakarta setelah ayah tiada. Tidak banyak orang yang bisa meninggalkan pekerjaannya, karirnya, apalagi jika jabatannya sudah tinggi. Sehingga keadaan itu lah yang memisahkan antara anak dan orang tua.

Seorang anak yang berbakti pada orang tuanya pastilah ingin sekali merawat orang tuanya yang telah membesarkannya. Namun, kondisi pekerjaan si anak dan tidak maunya orang tua ikut dengan anak yang sering menjadi kendala mengapa orang tua sering terkesan ditelantarkan.

Suatu ketika di sebuah angkot di Depok, seorang nenek turun dari angkot yang kami tumpangi. Hampir semua penumpang marah, dan mengumpat anak ibu tua tersebut. Begitu lah zaman sekarang, orang tua dibiarin pergi sendiri, anak kurang ajar, orang tua ditelantarin. Tapi saya sendiri pernah melihat seorang tua yang marah-marah, apalagi kalau sudah pikun, yang maunya keluar melulu, anaknya sampai bingung melarang orang tuanya. Tidak bisa dikasitahu. Kita sebagai anak takut kalau-kalau orang tua ini jatuh, atau bagaimana di jalan, tetapi seringkali orang tua malah marah ketika kita proteksi. Diantar tidak mau, maunya jalan sendiri hehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun