Mohon tunggu...
Dirga Ardian Nugroho
Dirga Ardian Nugroho Mohon Tunggu... Jurnalis - Karyawan

Membaca, Menulis, Berpikir

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita yang Saling Menyempurnakan

7 November 2019   23:09 Diperbarui: 7 November 2019   23:16 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia lahir ke muka bumi ini tidaklah dengan 'tangan kosong'. Setiap individu yang lahir dari rahim seorang ibu pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. 

Ada yang secara kompetensi mahir pada bidang tertentu, namun ada pula yang tidak. Sejatinya kita sebagai manusia memang diciptakan dengan perbedaan masing-masing -- bahkan bayi kembar sekalipun. 

Mengenai perbedaan tersebut, sering kali pula kita jumpai seseorang dengan perbedaan kondisi, baik secara fisik ataupun mental dalam kedihupan sehari-hari. Munculnya hal tersebut kerap kali mendapat respon yang cukup beragam di tengah masyarakat, ada yang memiliki pandangan positif, negatif, atau bahkan tidak peduli.

Pandangan di tengah masyarakat ini lambat laun dapat membawa dampak terkait bagaimana menyikapi keberadaan orang-orang dengan perbedaan kondisi fisik ataupun mental ini. 

Hal tersebut kemudian akan berpengaruh pula pada bagaimana proses pemenuhan kebetuhannya. Lebih gawat lagi apa bila muncul stigma di kalangan masyarakat bahwa orang yang memiliki perbedaan kondisi fisik maupun mental ini tidak perlu memperoleh hak-haknya sebagai manusia, karena sudah dianggap tidak mampu. 

Hal ini tidaklah seharusnya terjadi, karena bagaimanapun hak-hak sebagai manusia, dengan kondisi apapun, haruslah dipenuhi. Itu juga dipertegas dengan salah satu pasal yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 27 Ayat 2, yang berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 

Hal tersebut juga perlu dukungan akan pemahaman tentang kondisi ini dari tiap-tiap lapisan masyarakat. Lantas, sudahkah kita paham akan kondisi ini dan bertindak secara adil kepada sesama kita?

Menganal Lebih Dekat Disabilitas

Kondisi seseorang yang memiliki perbedaan secara fisik atau mental kerap kali dicap sebagai orang cacat, entah itu cacat fisik maupun cacat mental. Namun, sebutan tersebut rasanya terlalu kasar. Maka dalam perkembangannya, munculah sebutan disabilitas. 

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 1, disabilitas diartikan sebagai orang-orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Menurut Resolusi PBB Nomor 61/103 tanggal 13 Desember 2006, penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang tidak mampu menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan individual normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari kecacatan mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal kemampuan fisik atau mentalnya. 

Tentunya, masih banyak lagi pengartian lain terkait disabilitas ini. 'Segudang' peraturan dan regulasi berusaha dibuat oleh para pihak yang memiliki wewenang. Tujuannya tidak lain untuk menjamin hak serta kehidupan yang layak bagi para penyandang disabilitas.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam publikasinya yang beryajuk "Panduan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus Bagi Pendamping (Orang Tua, Keluarga, dan Masyarakat)", mengkategorikan anak penyandang disabilitas menjadi beberapa macam. 

Adapun jenis-jenisnya seperti anak disabilitas penglihatan, anak disabilitas pendengaran, anak disabilitas intelektual, anak disabilitas fisik, anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH), dan lain-lain.

Cukupkah dengan Peraturan Saja?

Berdasarkan sebuah publikasi yang dirilis oleh International Labour Organization (ILO) tentang "Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia", 15 persen dari jumlah penduduk yang ada di muka bumi ini adalah penyandang disabilitas. 

Dimana sekitar 82 persen di antaranya berada di negara-negara berkembang dan hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan menurut publikasi tersebut, penyandang disabilitas kerap kali menghadapi keterbatasan dalam akses kesehatan, pendidikan, pelatihan, dan pekerjaan yang layak. 

Maka benarlah langkah Pemerintah Indonesia dalam merumuskan 'segudang' peraturan yang menjamin kehidupan penyandang disabilitas.

Berbagai macam undang-undang dan peraturan baik di level nasional maupun internasional terus disempurnakan. Dari pengaturan hak-hak yang harus didapatkan oleh penyandang disabilitas, hingga upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Ini merupakan salah satu bentuk dukungan pemerintah atau pihak berwenang terhadap para penyandang disabilitas. 

Contoh seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Layanan Publik, yang menyatakan bahwa penyedia layanan umum harus memberikan layanan khusus kepada penyandang disabilitas sesuai dengan peraturan.

Tidak hanya dalam akses terhadap layanan publik, dalam UU No. 8 Tahun 2016, diatur pula berbagai macam hak-hak yang harus didapatkan oleh penyandang disabilitas, seperti hak hidup, hak pendidikan, hak kesehatan, hak bebas dari stigma, hak politik, dan lain-lain. 

Namun, permasalahan yang kemudian timbul ialah, apakah hak-hak bagi penyandang disabilitas ini sudah benar-benar terpenuhi?

Disabilitas dalam Angka

Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015, melakukan sebuah survei penduduk yang bertujuan menggambarkan kondisi kependudukan Indonesia secara komprehensif kala itu. 

Survei ini kemudian dikenal dengan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS). Hasil SUPAS 2015 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 8,56 persen penduduk di Inonesia memiliki disabilitas. 

Dimana tiga posisi teratas diduduki oleh Sulawesi Utara (11,90 persen), Gorontalo (11,71 persen), dan Sulawesi Tengah (11,44 persen). Sedangkan, posisi terbawah dalam jumlah penyandang disabilitas ditempati oleh Banten (6,18 persen).

Hasil SUPAS 2015 diperkuat dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI). Dari penelitian tersebut, terdapat sebuah temuan, dimana dari lima pengumpulan data yang diperoleh dari Sensus Penduduk (SP) 2010, Potensi Desa (Podes) 2011, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, dan Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) 2016, Gorontalo selalu bercokol di dalam 10 Provinsi Teratas dengan Prevalensi Disabilitas tertinggi di Indonesia.

Berkaca pada data-data tersebut, tentu diperlukan sebuah langkah atau kebijakan guna meningkatkan pelayanan bagi penyandang disabilitas. 

Terkhusus bagi daerah atau provinsi yang berada di luar pulau Jawa, mengingat konsentrasi pembangunan yang bisa dibilang belum merata. Agar ke depannya pelayanan bagi penyandang disabilitas bisa lebih baik lagi.

Sudah Harmoniskah Hubungan antara Dunia Kerja dan Penyandang Disabilitas?

Salah satu pasal dalam UU No. 8 Tahun 2016 yang membawa pesan terkait ketenagakerjaan dan disabilitas adalah pasal 53. Pasal tersebut mengandung dua ayat yang mengharuskan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), mempekerjakan setidaknya 2 persen penyandang disabilitas dari total keseluruhan jumlah pekerja yang dimiliki.

Sedangkan bagi perusahaan swasta, diharuskan mempekerjakan setidaknya 1 persen penyandang disabilitas dari total keseluruhan pekerja yang dimilikinya. 

Lebih lanjut, dalam pasal 54, dijelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan insentif kepada perusahaan swasta bila menerapkan hal tersebut.

Berdasarkan data sistem wajib lapor yang dimiliki oleh Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat 440 perusahaan yang telah mempekerjakan tenaga kerja sekitar 237 ribu orang. Namun, dari jumlah tersebut, baru ada 2.851 penyandang disabilitas yang dipekerjakan. Itu berarti baru ada 1,2 persen penyandang disabilitas yang telah ditempatkan di sektor formal.

Penerapan UU terkait ketenagakerjaan dan disabilitas tersebut rasanya perlu disempurnakan kembali. Tidak adanya sanksi yang diatur bagi perusahaan-perusahaan yang tidak menerapkan hal tersebut, cukup untuk dijadikan celah.

Keberadaan penyandang disabilitas di tengah masyarakat pada umumnya, dan dalam persaingan dunia kerja pada khususunya tidak seharusnya dikesampingkan. 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh LPEM FEB UI, mengesampingkan penyandang disabilitas dapat mengurangi probabilitasnya untuk masuk menjadi angkatan kerja dan memperoleh pekerjaan. Padahal dalam penelitian yang dilakukan oleh ILO, mengucilkan penyandang disabilitas dalam angkatan kerja dapat mengakibatkan PDB sebesar 3 hingga 7 persen.

Penyandang Disabilitas dalam Dunia Pendidikan

Pendidikan merupakan hak bagi seluruh bangsa Indonesia. Begitupun bagi penyandang disabilitas, itu merupakan hak yang juga harus didapatkan. 

Dalam Sakernas 2016, tercatat 45,76 persen anak usia pendidikan dasar dan menengah yang menyandang disabilitas tidak pernah atau tidak lulus Sekolah Dasar (SD). Bahkan dari data Susenas 2016 menunjukkan bahwa satu juta di antara 4,6 juta anak usia sekolah adalah penyandang disabilitas.

Penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas kebanyakan dilakukan pada Sekolah Luar Biasa (SLB). Padahal, tidak semua daerah di Indonesia memiliki SLB. 

Dari data yang dimiliki oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dari 514 kabupaten/kota, 62 di antaranya tidak memiliki SLB. Sedangkan dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia baru 10 persen yang bersekolah di SLB.

Harapan itu Tentu Masih Ada

Berbagai macam hambatan muncul dalam pemenuhan hak-hak bagi penyandang disabilitas. Entah itu di dunia kerja atau bidang pendidikan, dan lain sebagainya. 

Dalam meminimalisir hambatan-hambatan tersebut, tentu perlu adanya kolaborasi secara aktif serta pemahaman dari seluruh lapisan masyarakat yang ada.

Dalam dunia kerja contohnya, perlu adanya platform khusus yang digunakan untuk penyebarluasan tawaran kerja bagi penyandang disabilitas. Selain itu, perlu juga adanya pembentukan jalur atau formula khusus agar penyandang disabilitas dapat ikut merasakan pekerjaan di sektor formal. Selain itu, perlu juga adanya peningkatan teknologi yang dapat mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas.

Pada bidang pendidikan, penyempurnaan SLB di berbagai wilayah di Indonesia dirasa perlu, mengingat masih ada daerah-daerah yang tidak memiliki SLB. 

Penyempurnaan ini dapat dalam bentuk penyiapan tenaga pendidik, kurikulum yang sesuai, serta fasilitas yang memadai. 

Di samping itu, pengembangan pendidikan yang inklusif juga dirasa perlu. Mengingat pendidikan ini dapat mengembangkan berbagai macam kemampuan serta bakat yang dimiliki oleh setiap anak, bagi penyandang disabilitas maupun tidak.

Jauh dari hambatan-hambatan tersebut, ada pula pola pikir atau asumsi mendasar yang perlu kita luruskan. Karena hambatan-hambatan tersebut tentu muncul akibat adanya pola pikir atau stigma tidak mengenakkan yang ditujukan bagi penyandang disabilitas. 

Seperti menganggap bahwa penyandang disabilitas tidak dapat melakukan apa-apa, menilai penyandang disabilitas sebagai beban, dan lain sebagainya. Karena sejatinya kita sebagai manusia hidup berdampingan. 

Yang mana kita sepatutnya saling membantu, melengkapi, dan saling menyempurnakan antara satu dengan yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun