Mohon tunggu...
Dion Pardede
Dion Pardede Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan terus dan selalu belajar.

Absurdites de l'existence. Roséanne Park 💍

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

HAM dan Anti Korupsi, Jokowi Tak Butuh Lagi?

17 Agustus 2020   18:42 Diperbarui: 17 Agustus 2020   21:10 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah dari Reuters

Isu HAM dan anti korupsi rasanya tidak akan pernah hilang dari ruang publik Indonesia berangkat dari fakta dianutnya sistem demokrasi. Akan tetapi di antara para politisi? Ya lain cerita. Timbul tenggelam mengikut kebutuhan.

Ambil contoh yang umum saja, pelanggaran HAM berat masa lalu selalu jadi gorengan favorit para politisi yang sedang sikut sikutan. Selesai masa kampanye, ya sudah lupakan.

Hal ini pulalah yang sejak Jokowi dilantik di periode keduanya mulai tampak. Di mulut dan saya yakin di kepala Jokowi, hal yang ingin diprioritaskannya adalah agenda ekonomi, infrastruktur, dan segala macamnya.

Di victory speech-nya, Jokowi sama sekali tidak menyinggung penyelesaian kasus HAM dan perbaikannya ke depan serta anti korupsi. Bahkan dalam wawancara dengan BBC 2019 lalu, beliau mengisyaratkan bahwa memang ke dua hal tersebut bukan prioritasnya.

Reaksi publik terkhusus pendukung dan pemilih beliau tentu kecewa, namun saya yakin tidak kaget. Karena seharusnya banyak orang yang sudah menduga bahwa yang namanya politisi butuh insentif elektoral buat mendapat atau mempertahankan kekuasaan, termasuk Joko Widodo.

Kita bisa lihat manuver cantik beliau di musim kampanye dengan sindir-sindir manis baik melalui pidato maupun dalam sesi debat melawan Pak Prabowo. Beban pelanggar HAM di pundak beliau kala itu -- pilpres 2014 dan 2019 -- jadi advantage bagi kubu Jokowi dalam memboyong sebanyak-banyaknya insentif elektoral dari segmen pemilih peduli HAM.

Walaupun cukup banyak aktivis HAM yang tegas menyatakan bahwa Jokowi tidak punya hasrat yang genuine untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, tetap saja posisi Prabowo tersebut memberi insentif elektoral yang cukup signifikan bagi Jokowi. Ditambah posisi Gerindra sebagai pemuncak klasemen parpol dengan caleg mantan napi koruptor terbanyak. Semakin 'begah' kubu Jokowi akan insentif elektoral.

Seolah pertimbangan beberapa pemilih sebatas "ya dari pada Prabowo" yang mana juga ujung-ujungnya jadi sepaket dengan Jokowi. Coblos satu, dapat dua.

Jokowi sebagaimana diatur dalam Undang-undang tidak akan maju lagi di tahun 2024 sehingga dia tidak punya beban lagi untuk bermanuver dengan tujuan terpilih kembali. Manuver yang dimaksud kira-kira serupa menelepon Suciwati Munir pada masa kampanye 2014. 

Memang menggiurkan sekali isu HAM bagi tingkat keterpilihan. Itu 2014, ketika dirinya masih harap-harap cemas bakal duduk atau tidak di Jalan Medan Merdeka Utara. Sekarang? Ya mau apa lagi? Toh dia tidak akan maju lagi di 2024. Mungkin beban yang dimaksud beliau tidak dipikul lagi adalah beban penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, atau juga beban pemberantasan korupsi.

Mumpung demokrasi masih dianut negara ini, ya bolehlah kita kemukakan asumsi. Kalau menurut hemat saya, Pak Jokowi masih percaya bahwa korupsi adalah 'oli pembangunan', seperti yang pernah dikemukakan politisi favorit anda, Pak Fadli Zon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun