"Lopa bo blangon tompiaan naton, sin tua bi' lipu mogoguyang..."
"Alam dan Lautan dijaga dan dilestarikan, karena itu tanah leluhur..."
(Lirik sebuah lagu dari Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara)
"Tanah itu tidak ada yang memiliki, itu tanah negara. Orang itu hanya menguasai, negara memberikan hak kepemilikan. Tapi ini tanah mbah saya, leluhur saya. Saya mau tanya, emang mbah atau leluhur bisa membuat tanah?..." (Nusron Wahid)
Entah apa yang ada dalam pikiran Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid sehingga mengeluarkan pernyataan yang pada akhirnya menimbulkan polemik di publik soal "kebijakan pemerintah mengambil alih tanah rakyat". Mungkin dalam anggapan pak menteri, setiap orang yang punya tanah pasti juga punya uang atau modal?! Punya simpanan bank semudah beliau menarik gaji dari mesin ATM.
Padahal bila melihat pakai hati nurani, tiap masyarakat yang punya tanah 'nganggur' pasti punya alasan tertentu sehingga tanahnya dibiarkan ditumbuhi semak belukar. Ada yang sudah enam bulan tak disentuh, setahun dibiarkan, bahkan puluhan tahun terlantar. Alasan yang paling masuk akal dari orang-orang ini adalah ketiadaan 'modal' untuk menggarap atau memanfaatkan lahan mereka.
Ada juga yang sudah punya modal tapi uang simpanan kemudian digunakan untuk membayar biaya kuliah anak, untuk kebutuhan sehari-hari, dan kadang mungkin digunakan membayar hutang yang lagi-lagi untuk keperluan mendesak seperti pengobatan sakit, hajatan keluarga, modal buat anak nikah, dan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia diberbagai pelosok tanah air.
Sungguh tragis membayangkan bila tanah rakyat diambil negara hanya karena vonis subjektif pemerintah tentang penelantaran tanah. Apalagi rencananya tanah-tanah itu diberikan kepada organisasi-organisasi untuk dikelolah. Seseorang bisa kehilangan tanah warisan atau tanah milik keluarga yang telah dijaga secara turun temurun. Padahal dari tanah-tanah itu rakyat juga bergantung akan penghidupan mereka.
Banyak rakyat kecil kita kenyataanya cuma punya tanah tapi tidak punya modal untuk mengelolah. Tidak semua rakyat yang punya tanah memiliki modal 'gede' seperti beberapa konglomerat besar di Indonesia. Kebanyakan tanah rakyat hanya dikelolah seadanya dari uang hasil pinjaman rentenir, pinjaman koprasi simpan-pinjam, bahkan banyak yang menunggak di bank swasta atau punya pemerintah (BUMN/BUMD).
Persoalan tanah rakyat yang terlantar bukan hanya diukur oleh pemerintah dari berapa lama tidak digarap atau berapa banyak belukar dan ilalang yang tumbuh di atas tanah nganggur. Tapi lebih dari itu, tengoklah kantong-kantong rakyat kecil apakah mereka punya uang untuk mengurus tanah yang mereka punya atau ketiadaan modal memaksa mereka menelantarkan lahan-lahan mereka.