Mohon tunggu...
Arroyyan Dwi Andini
Arroyyan Dwi Andini Mohon Tunggu... Penulis - Akun baru, yg lama gak bisa dibuka. Penulis buku Muslimah Cantik Cerdas di Dapur, owner Diarfi, bukan siapa-siapa

Ibu Rumah Tangga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Dedek Bukan Di Sini

15 Februari 2023   21:00 Diperbarui: 15 Februari 2023   21:02 3898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tumpukan kardus tak beraturan, peralatan dapur yang masih berserakan, kamar yang lebih berantakan dari kapal pecah dan dihiasi lagi oleh tangisan Rasya. 
Debu yang menempel disana sini, mainan Adit yang entah bagaimana caranya bisa bercampur dengan tanah plus makanan ringan yang tabur dari tempatnya. Beginilah suasana setiap kali pindah kontrakan rumah.
Letih! Emosi jiwa seperti berlari kencang ke puncaknya. Membuat kepalaku pusing  dan badan seperti masuk angin parah. Namun suamiku dengan sabar membereskan segala sesuatunya tanpa banyak bicara. 
Tak lama dia telah menyusun tempat tidur, memasang seprei, mengepel lantai kamar. Lalu diajaknya Adit dan Rasya mandi. Selesai itu mereka beristirahat di kamar sambil berbincang.
"Adek Rasya suka rumahnya?""Suka, tapi nanti dindingnya dikasih gambar Pororo ya ayah," dengan penyebutan 'r' yang belum sempurna, Rasya meminta tokoh kartun kesukaannya itu dipajang.
"Iya, nanti kita cari gambarnya. Kalo mas Adit?""Adit maunya di rumah lama. Disana temen Adit banyak"."Disini juga nanti kenalan dong, biar banyak lagi temennya", kata suamiku sambil mengusap rambut Adit.

Aku menghela nafas.Lembayung senja nan jingga menghantarkan aku pada untaian khayalan tak bertepi. Sebuah keinginan yang sepertinya mustahil jadi nyata. Aku ingin sekali memiliki rumah sendiri. Letih rasanya harus berpindah dari kontrakan satu ke kontrakan lain. Karena berat bagi ke dua anakku untuk bisa beradaptasi setiap kali menempati lingkungan baru. 
Dan saat ini semburat senja seperti mengerti gundah hati, jingganya teramat indah terlihat dari sini.
Demi keinginan itu, aku mati-matian berhemat. Beginilah jika menjadi istri yang hanya berkutat seputar sumur, dapur, kasur, tanpa ada predikat "wanita karir" di selipan pekerjaan ibu rumah tangga. Jika tak pintar berhemat, bisa-bisa pemasukan akan hanyut dalam arus belanja yang deras.
Menyisihkan setiap sisa uang belanja dari suami, rupiah demi rupiah dengan tabah. Aku menahan diri untuk tidak ngemil, tidak membeli baju baru, berusaha tidak tergoda membeli segala pernak-pernik dan menghindar dari tawaran kredit yang menggiurkan. Benar-benar memperketat pengeluaran demi rumah idaman.
Suamiku hanya tersenyum melihat kelakuanku. Seperti biasa dia bersikap 'cool' dengan hanya berkomentar "Jika sudah saatnya, pasti kita punya rumah Bun". Mingkin benar, namun kapan? Dikeseharianku di rumah, amatlah berbeda dengan kesehariannya di tempat kerja. Suamiku hanya memikirkan kerja tanpa memikirkan rumah. Setidaknya itu pendapatku.
Tidak banyak yang bisa disimpan dari gaji yang tak seberapa. Namun aku tak akan menyerah. Walau harus menabung belasan tahun, yang penting sudah ada tabungan untuk membeli rumah. 
Dan aku mulai belajar berbisnis. Sambil menjemput Adit yang baru duduk di kelas dua Sekolah Dasar, aku berjualan baju daster. Menawarkan pada sesama ibu penjemput. Biarpun tak banyak, lumayan untuk membuat tarikan dua garis di bibir.
Inilah perjuangan. Rumah yang katanya murah dan bersubsidi pemerintah pun masih terasa amat mahal sekali. Terlebih tahun ini Rasya masuk Taman Kanak-kanak. Sekolah pun bukan sesuatu yang murah.
Ditengah semangat mewujudkan rumah impian, hal mengejutkan terjadi. Tak disangka-sangka, benar-benar diluar perkiraan dan tak direncanakan. Aku hamil! Hamil anak ke tiga.
Ya Allah! Sebuah kejadian yang tentunya akan menambah beban pengeluaran. Tapi mau bagaimana lagi? Siksaan saat masa ngidam meningkahi rasa kecewa. Mengapa harus hamil? Mual, muntah, sakit kepala, tak bisa mencium bau odol hingga keinginan makan buah Naga Merah. Sampai asupan vitamin dan susu yang bukan saja harus ku telan tapi juga memperbesar pengeluaran. Membuat aku stress.
"Bersyukur Bunda. Di luar sana banyak perempuan yang tidak diberi kesempatan hamil," begitu komentar suamiku. 
Aduh! Bersyukur mungkin akan membuat hati lebih tenang di tengah laut kegalauan. Mau tak mau, sebisa mungkin menjalani ini tanpa sesal.Namun karena tekadku sudah tak bisa ditawar lagi. Semampunya aku menabung.
"Bunda, pengen jajan," rengek Adit. Sebenarnya rengekan ini sudah biasa terjadi."Tidak perlu jajan, itu bunda sudah buatkan pisang goreng!""Tapi Roni jajan, Bunda. Adit juga mau..." Adit menunjuk temannya yang berdiri di depan pintu dengan membawa sebungkus makanan ringan. Ini membuat aku kesal, jika boros apa yang bisa ditabung?
"Roni, sini masuk," ajakkku dengan senyum yang terpaksa. Roni masuk dengan senyum pula."Roni mau pisang goreng?""Mau tante. Udah lama mama Roni gak beli pisang goreng."
Aku mengambil beberapa potong pisang, kumasukkan dalam plastik. "Ini untuk Roni. Tapi tante minta sedikit jajannya ya?" Roni mengangguk sambil menyodorkan jajanannya. Aku mengambil sejumput lalu kuberikan pada Adit. Roni tersenyum, kulihat dia langsung memakan pisang goreng itu.
"Ini, tidak usah jajan!" tegasku pada Adit. Anakku itu menurut dan tak menuntut. Lalu mereka pergi ke teras lagi untuk bermain. Aku menarik nafas panjang sambil mengusap perutku yang makin membesar.
Sebenarnya kehamilanku tidak terlalu bermasalah. Setiap kali kontrol, ibu bidan mengatakan kandunganku baik-baik saja. Sampai saatnya aku disarankan untuk USG ke dokter spesialis kandungan. Pergilah aku dengan berat hati. Pastilah akan lebih mahal biayanya.
"Bunda baik-baik saja kok, ayah. Sepertinya kita tidak perlu ke dokter kandungan. Uangnya kita tabung saja ya?""Bunda, ini kan untuk kebaikan bunda juga. Biar lebih yakin dan lebih tenang. Apalagi tanggalnya semakin dekat."
Aku tidak bisa membantah. Dan benar saja, di ruang pemeriksaan dokter itu hatiku terasa patah."Sepertinya harus caesar Bu, posisi bayi melintang," begitu kalimat dokter Iwan yang terasa membahana. Aku memandang wajah suamiku. Seperti biasa, dia terlihat tenang.Sedang aku galau tak karuan. 
Caesar?! Pastilah ini memakan biaya tidak sedikit."Kami ikut yang terbaik menurut dokter," jawab suamiku. Aku terhenyak."Tidak adakah kemungkinan bayiku akan memutar sendiri ke posisi normal, Dok?" tanyaku penuh harap.
"Kemungkinan selalu ada bu, namun ini posisi sulit. Lihatlah tali pusar yang menghalangi bayi memutar. Terlebih masa persalinan sudah dekat," Dokter Iwan menjelaskan foto USG yang baru saja aku jalani.
"Tidak bisa ya..." lirihku lemah."Ibu berdoa saja, saya hanya melihat dari sisi medis. Tapi operasi bukan sesuatu yang menakutkan. Ini adalah hal biasa dan sering terjadi."Dokter Iwan bisa ringan berkata, tapi berat di hatiku.
Melipat kata sedih dalam senyum suamiku yang berpamitan dengan berjabat tangan. "Terimakasih Dok.""Jangan khawatir pak, bayi anda tetap sehat." Dokter Iwan membalas senyum suamiku. Dan aku amat sangat berat untuk tersenyum.
"Ayah, dari mana kita dapatkan uang untuk operasi?" tanyaku begitu kaki ini melangkah keluar ruang praktek dokter."Ambil saja uang tabungan.""Tapi Yah, uang itu Bunda kumpulkan untuk membeli rumah. Bukan untuk caesar!""Dedek yang di perut bunda lebih penting dari rumah" jawaban suamiku ini membuat mukaku terlipat 12. 
Aku kesal sekali. Pastilah impian memiliki rumah sendiri akan tertunda. Tertunda sampai waktu yang tak terhingga. Aku merasa sia-sia saja mengumpulkan sedikit demi sedikit uang itu. Kapan bisa memiliki rumah jika uang itu kerap diambil ?!
"Bunda, kapan Dedeknya hidup?" tanya Rasya, anakku nomer dua yang baru berusia empat tahun."Bukan hidup sayang, tapi lahir.""Iya, kapan Dedek lahir Bunda? Rasya mau main petak umpet sama Dedek nanti.""Tidak lama, mungkin seminggu lagi sudah lahir.""Pasti Dedeknya mirip Rasya ya Bunda?""Iya, kita lihat saja saat Dedek lahir nanti ya."
Celotehan Rasya membuat hatiku sedih. Untunglah Adit, kakaknya tak begitu peduli.
Senja berlembayung malu. Mengantarkan aku menuju rumah sakit bersalin. Jingganya yang semu, menyamai semu hati yang terperi. Operasi yang tak dinanti.Akhirnya, caesar itu berlangsung. 
"Yang kuat ya Bunda, pasti operasinya lancar. Jangan takut, Dedek pasti lahir selamat dan bunda juga sehat," mesra suamiku mengenggam tanganku. Lalu mengecup keningku, saat perawat mulai mendorong tempat tidur menuju kamar operasi. Entahlah, aku harus sedih atau harus bahagia.
Begitu tersadar dari pengaruh obat bius, aku merasa hampa. "Dedek, betapa mahalnya dirimu," kata hatiku sedih.
Namun naluri keibuanku berbicara. Perasaan suka cita menyambut si kecil menyelimuti hati. Melihatnya seolah melihat harapan yang merajut tambalan kain kehidupan yang terkoyak.
Ku susui Dedek dengan pelukan hangat. Ku perhatikan dia. Matanya adalah mataku, aku mengusapnya mesra dengan ujung telunjuk. Mulutnya, mulut ayah. Dan  hidungnya, hidung Rasya. Ya benar sekali tebakannya, bahwa Dedek akan mirip dirinya. Paduan sempurna dari Ayah, Bunda dan Kakaknya. 
Hei, matanya berkedip memandangku. Sungguh keindahan yang meneduhkan. Aku memberinya senyuman manis. Rasa sayangku membuncah. Ku usap pipinya dengan punggung telunjuk. Dedek menggeliat, dia tersenyum kembali. Betapa aku suka melihatnya. Tapi Dedek memejamkan matanya lagi, sampai suster membawanya kembali ke kamar bayi.
"Ayah, seberapa besar tabungan bunda yang diambil?""Lebih dari separuh. Ikhlaskan Bunda, jika sudah saatnya nanti, pasti kita akan punya rumah sendiri. Sabarlah."
Aku menarik nafas panjang. Perih rasa hati ini jika mengingatnya. Aku sudah berkorban untuk tidak membeli camilan kesukaanku. Menghentikan kebiasaan ngemil ini butuh perjuangan. Menahan diri sekuatnya untuk hanya membeli sesuai kebutuhan dan mematikan semua keinginan. Berbulan dan bertahun-tahun. Lalu uang itu nyaris habis hanya dalam waktu sehari. Di rumah sakit ini.
Tak terasa air mataku mengalir. Menerjuni relung hati yang ingin tetap terbasahi oleh harapan. Sebuah cita-cita sebagai pelipur lara. Kuusap jahitan diperut yang masih menyisakan nyeri. Terbayang senyum manis Dedek yang tak berdosa. Air mataku mengalir lagi.
Esoknya, suamiku tergopoh-gopoh menghampiriku dengan membawa kursi roda. Dengan nafas tersengal-sengal dia berucap "Bunda, ayo bangun. Kita lihat Dedek!" lalu tanpa sepertujuanku, dia langsung menggendongku, memindahkan aku ke kursi roda. Lalu mendorongnya dengan cepat.
"Ada apa ayah?""Dedek sakit," jawaban pendek suamiku membuatku jatuh lemas. "Duh, jangan sakit Dedek. Karena, sakit adalah uang. Mengertilah" batinku menjerit."Tapi semalam Dedek baik-baik saja. Bunda masih menyusuinya."Suamiku tidak menjawab. Dia terus mendorongku ke sebuah ruang.
Terlihat Dedek terbaring lemah dengan infus. "Dedek, kenapa sayaaang..." Air mataku meleleh. Kulihat matanya sejenak terbuka, lalu bibirnya tersenyum. Senyum manis sambil memandangku. Aku membalas senyumnya. Dedek cantik sekali. Lalu mata itu menutup lagi.Semalam memang pipinya terlihat lebih kurus. Tapi aku tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang membahayakan.
"Semalam setelah menyusu, dedek muntah-muntah" cerita suamiku.Belum sempat aku menanggapi kata-kata suamiku, tiba-tiba suster terlihat sibuk. Mencari dokter dengan panik. Suamiku menghela nafas panjang. Memeluk Dedek dengan erat. Aku tak mengerti. Apa yang terjadi?! Aku ikut panik. 
"Ada apa ini?!" jeritku, tapi mereka tak peduli. Sibuk menangani Dedek. Sejenak, lalu kesibukan itu mereda. Aku masih saja bingung.
Sampai suamiku melafazkan "Innalillahi wa innailaihi roji'uuun" dan para suster itu melepas semua peralatan yang menempel di tubuh dedek.Aku tersentak tak percaya. Air mataku yang meleleh kini mengalir deras.
"Ayah, kenapa Dedek Yah? Kenapa?!"Suamiku berlutut dihadapan kursi roda, sambil mengenggam erat tanganku. 
"Sabar ya Bunda, Dedek sudah pulang ke rumah Allah"Aku histeris. "Tidak mungkiinn...! Tidak mungkin, ayah!" Suamiku memelukku erat, tanpa berkata-kata.
"Ayah, ambil semua tabungan Bunda. Bilang sama dokternya supaya dokter menyembuhkannya. Pergilah ayah, ambil semua uang Bunda!" aku sesenggukan hebat. 
Hatiku bagai tersayat, menumpahkan segala rasa kepedihan, keperihan dan sesal yang mendalam.
"Sudahlah bunda, Dedek tidak memerlukan uang. Yang Dedek perlukan adalah keikhlasan hati Bunda melepasnya supaya Dedek kelak bisa memberikan bunda rumah di surga," kata-kata suamiku membuat hatiku hancur. Menjadi serpihan kecil yang tertiup angin lalu hilang tak kembali.
Dedek, maafkan bunda. Ternyata Dedek tidak memilih tinggal di rumah sendiri atau di rumah kontrakkan. Rumah dedek bukan disini. Tapi Dedek memilih tinggal di rumah indah nan abadi, rumah di surga. Selamat jalan Dedek. Maafkan,maafkan Bunda...
Lembayung senja ini runtuh, jingga indahnya tertutup awan kelabu. Hingga saat hujan kan mengusir mendung dan akan menggantinya dengan pelangi.

***Cerpen Arroyyan Dwi Andini***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun