Fenomena ini bisa dijelaskan melalui teori sosiolog Pierre Bourdieu, yang menyebut bahwa bahasa tidak hanya alat komunikasi, tapi juga alat kekuasaan. Dalam komunitas fandom, kelompok mayoritas sering kali menggunakan bahasa baik itu hinaan, sindiran, atau makian untuk mendominasi dan membungkam pendapat yang berbeda.
Sosiolog Jrgen Habermas juga menekankan pentingnya komunikasi yang rasional dan setara. Namun dalam realitanya, ruang diskusi di fandom sering kali justru berubah menjadi ruang intimidasi, bukan dialog terbuka.
Hal ini diperparah oleh sifat anonim di media sosial. Penelitian oleh Nasya Putri Nariswari (2025) menunjukkan bahwa anonimitas dan rendahnya kecerdasan emosional anggota fandom menjadi faktor utama yang mendorong agresi verbal dalam komunitas daring.
 - Solidaritas yang Bisa Menjadi Pedang Bermata Dua
Kekuatan kolektif fandom sejatinya bisa membawa dampak besar dari menyuarakan keadilan sosial hingga menggalang dana untuk bencana alam. Namun, seperti disampaikan Sumardiono (2022), jika kekuatan ini tidak diiringi dengan etika komunikasi, ia bisa berubah menjadi alat penindasan.
Ketika solidaritas berubah menjadi fanatisme buta, kritik konstruktif dianggap sebagai serangan, dan yang berbeda pendapat pun dianggap musuh.
Menuju Komunitas yang Lebih Sehat dan Berempati
Lalu, bagaimana cara agar fandom tetap menjadi ruang yang sehat, ramah, dan produktif?
1. Menguatkan Literasi Etika Komunikasi
Edukasi mengenai bagaimana berkomunikasi secara sehat di dunia digital perlu lebih digencarkan. Admin grup dan influencer fandom bisa memulai dengan membuat konten-konten edukatif tentang pentingnya menghargai perbedaan.
2. Membuka Ruang Diskusi yang Aman