Petang hari...
Kubuka lembaran diary bersampul biru langit. Ya, biru langit adalah salah satu warna favoritku sebelum aku hijrah. Hijrah mengenakan busana muslimah. Hijrah untuk melabuhkan segenap hati dan pikiran ke lawan jenis lainnya namun tetap kepada-Nya, Allah SWT.Â
Pelan dan santai kubaca lembar demi lembar diary tersebut. Sesekali, kurasakan sayatan kecil di pergelangan tanganku, bergantian baik kanan maupun kiri. Perih tak terkira. Sesekali, debaran halus menyelimuti relung hati. Sesekali, ada aliran campur rasa berkecamuk di dalam pikiranku dan sempat membuatku kehilangan kesadaran selama beberapa detik saja. Ya, alhamdulillah, semuanya itu hanya sesekali. Jika dosisnya melebihi takaran dari sesekali, entah apa yang harus kulakukan.Â
Menangis? Bukan hal yang bijaksana. Marah, meratap, dan menyesal? Big no, tentu saja.
Diary itu menceritakan laki-laki yang tidak bisa berpindah hati. Istilah kerennya, the man who can't be moved.
"Ini diary yang lain, Mbak." seorang perempuan manis memberikan diary lain. Kali ini, berwarna merah muda. Mmm, warna yang tidak terlalu kusukai karena terlalu 'girlie'.
"Masih ada empat lagi, Mbak. Mmm, sebetulnya diary yang lain masih banyak tapi dia hanya menuliskan tentang kisahnya dengan Mbak sebanyak 6 diary. Semuanya memiliki moment tersendiri."
"Darimana kau mendapatkannya, Widya?"
"Kudapatkannya dari salah satu kotak yang disimpan rapi olehnya di gudang. Dua hari lalu, saya menemukannya dan saya rasa Mbak perlu membacanya."
Aku terdiam sejenak. Seingatku, pria yang saat ini sedang berjuang melalui hidup dan mati bukanlah pria yang pandai menuliskan kata-kata.
"Dia belajar, Mbak. Belajar menulis seperti Mbak D. Dia ingin mengimbangi ritme kehidupan Mbak D dengan menulis." Ucap Widya seolah mengetahui pikiranku.