Mohon tunggu...
Dinanti Ardiva
Dinanti Ardiva Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cina di Asia Tenggara: Strategi dan Dampaknya Bagi Kawasan

6 Mei 2021   10:26 Diperbarui: 6 Mei 2021   10:59 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di abad ke-20, Cina mengalami berbagai revolusi yang membuat stabilitas ekonomi domestiknya bergejolak. Melalui kepemimpinan yang sentralistik, Cina berupaya memodernisasi perekonomiannya dan menghasilkan kebijakan yang pragmatis demi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pasca pemerintahan Mao Zedong, Cina mulai tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang terbuka bagi kerja sama internasional. Keterbukaan ini kemudian semakin menjurus pada tujuan kebijakan ekonomi politik internasional Cina yang ekspansif dan hegemonik. Selain memperluas dan memperkuat dominasi ekonomi-politik di kawasan asalnya, yakni Asia Timur, Cina juga melebarkan sayapnya ke wilayah-wilayah lain. Salah satu kawasan yang menjadi tujuan utama Cina adalah Asia Tenggara. Kerjasama di kawasan yang mayoritas merupakan negara berkembang sekaligus dikenal strategis pada sektor perdangan tersebut tentu akan menguntungkan bagi Cina. Oleh karena itu, Cina mengajukan berbagai tawaran kerjasama dengan negara-negara Asia Tenggara yang bukan hanya untuk kepentingan ekonominya semata, tetapi secara tidak langsung juga memberi pengaruh politik dan menunjukkan kekuasaannya di kawasan itu. Pada akhirnya, Cina akan terlibat dalam beberapa pengambilan kebijakan ekononmi-politik di Asia Tengara sekaligus memberi dampak tersendiri bagi negara-negara di kawasan tersebut.

Hubungan antara Cina dan Asia Tenggara (ASEAN) yang memang telah terjalin sejak lama menjadi semakin kuat ketika Cina bangkit sebagai salah satu negara perdagangan terbesar di dunia. Kemapanan ekonomi Cina dari tahun ke tahun ini tentu mempererat hubungan multilateral kedua belah pihak. Hubungan baik Cina-ASEAN terlihat dari meningkatnya kadar ekspor-impor yang tentu menghasilkan keuntungan. Integrasi ekonomi antara China-ASEAN dipandang sebagai cara terbaik untuk menepis kekhawatiran atas ancaman globalisasi terhadap keamanan ekonomi negara masing-masing. Untuk meningkatkan kerja sama ekonomi komprehensif yang dipandang lebih menguntungkan, maka bentuklah Perjanjian Perdagangan Bebas Tiongkok-ASEAN (ACFTA) tahun 2002.

Pemimpin Cina pada saat itu memutuskan untuk menandatangani ACFTA karena ingin memastikan ideologi socialism with Chinese characteristics tetap terjamin. Dengan kata lain, Cina tidak hanya ingin sebatas melakukan kerjasama perdagangan, tetapi juga memanfaatkan peluang tersebut untuk menunjukkan eksistensinya sebagai negara yang kuat dan memiliki kuasa.  Perdagangan bilateral antara Tiongkok dan ASEAN memang mendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat. Namun, di sisi lain, dinamika pasar yang dibawa oleh Cina mampu berdampak pada pasar internasional. Cina sebagai  pemasok utama pada beberapa komoditas membuat Cina dapat mengendalikan harga utama untuk barang-barang tersebut. Hal ini akan berdampak besar pada kuantitas dan pendapatan negara lain, dalam kasus ini adalah negara-negara di Asia Tenggara, karena Cina secara tidak langsung "mengikat" negara yang bergantung padanya untuk bisa memperoleh barang yang dibutuhkan. Meskipun pada kenyataannya kebijakan tersebut tidaklah memberi kerugian yang besar dan negara-negara ASEAN juga tetap bisa mendapatkan keuntungan, tetapi dengan keberadaan Cina yang mampu mengendalikan harga pasar menjadi bukti bahwa Cina mulai memiliki posisi yang penting dalam mempengaruhi tindakan yang diambil oleh negara-negara di Asia Tenggara.

Seperti belum puas dengan hanya melakukan kerjasama perdagangan, Cina dibawah kepemimpinan Xi Jinping mengeluarkan serangkaian kebijakan ekonomi yang terkesan jauh lebih ambisius. Salah satu inisiatif yang menarik perhatian dunia internasional adalah Belt and Road Initiative (BRI) pada tahun 2013 yang bertujuan menghubungkan ekonomi Eurasia dengan infrastruktur, perdagangan, dan investasi. Kebijakan Cina yang satu ini memang berada dalam skala yang lebih besar, dimana Cina juga melibatkan negara-negara di luar Asia. Akan tetapi, Kawasan Asia Tenggara tetap menjadi salah satu fokus utama Cina untuk menyebarkan pengaruhnya.

Negara-negara di Asia Tenggara cenderung memberikan respon positif terhadap BRI,di antaranya Filipina, Vietnam,Thailand,dan Indonesia yang tertarik dengan proyek tersebut. Bantuan besar yang diberikan oleh Cina bagi Asia Tenggara tentu dapat memakmurkan masing-masing negara dan membuka peluang investasi yang lebih besar. Namun, di balik itu semua, BRI merupakan salah satu strategi Cina dalam menemukan pasar baru dan memperlebar pengaruhnya dengan negara kawasan. Hal ini dilakukan untuk menyeimbangi Amerika Serikat yang juga mendominasi perekonomian di Asia Tenggara sebagai kawasan regional terdekat. Selain itu, Cina juga sangat memahami situasi yang ada, di mana negara-negara di Asia Tenggara cepat atau lambat akan mengumpulkan hutang karena tidak mampu membayar bantuan yang diberikan BRI. Hal ini tentu menguntungkan Cina karena pembangunan yang akan dilakukan negara-negara peminjam dana tersebut bisa saja jatuh ke tangan Cina sebagai konsekuensi dari hutang tersebut. Dominasi Cina di kawasan Asia Tenggara membuat negara-negara di dalamnya menjadi bergantung kepada Cina. Mereka sebagai negara berkembang pun tidak bisa menolak atau menghindari bantuan dari Cina karena membutuhkan dana tersebut untuk pembangunan negaranya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepentingan Cina di Asia Tenggara ternyata bukan hanya tentang ekonomi belaka. Ambisi Cina untuk bisa menguasai Kawasan sekaligus menggeser posisi Amerika Serikat sebagai pihak yang dominan di Asia Tenggara menjadi alasan mengapa dirinya berupaya keras untuk membuat serangkaian kebijakan menggiurkan yang bisa menarik minat negara-negara tersebut. Meskipun terlihat menjanjikan, pada kenyataannya Cina memanfaatkan kondisi negara-negara di Asia Tenggara yang membutuhkan banyak dana dan menjadikan keadaan tersebut sebagai peluang untuk meraup keuntungan besar dari celah yang ada. Meskipun kerjasama dengan Cina juga tetap menghasilkan sejumlah keuntungan, negara-negara di Asia Tenggara harus selalu berhati-hati dalam memutuskan  kebijakannya terkait dengan Cina agar tidak terjebak pada situasi yang merugikan.

DAFTAR PUSTAKA

Idham, Ahmad Muziru. “Kebangkitan Ekonomi China: Kerjasama Ekonomi Bilateral ASEAN-China dan Pengaruhnya Terhadap Pasaran Ekonomi Antarabangsa”. (www.academia.edu/7818974/Kebangkitan_Ekonomi_China_Kerjasama_Ekonomi_Bilateral_ASEAN_China_Dan_Pengaruhnya_Terhadap_Pasaran_Ekonomi_Antarabangsa).

Anam, Syaiful. 2018. “Kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok pada Masa Pemerintahan Xi Jinping”.

(www.researchgate.net/publication/331252388_Kebijakan_Belt_and_Road_Initiative_BRI_Tiongkok_pada_Masa_Pemerintahan_Xi_Jinping).

Farikha, Siti. 2020. “Dominasi Ekonomi China Di Asia Tenggara melalui Belt and Road Initiative (BRI)”.(www.blog.iirs-center.com/2020/12/18/dominasi-ekonomi-china-di-asia-tenggara-melalui-bri-belt-and-road-initiative/).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun