Rabu, tanggal 17 September, tepatnya pada saat mata kuliah Pendidikan Pancasila berlangsung. Saya membuat catatan mingguan dari salah satu tulisan yang telah Bapak Drs. Study Rizal LK, MA share di Kompasiana yang berjudul "Kabinet Baru, Harapan Lama: Apakah Reshuffle Bisa Menjawab Kekecewaan Publik?". Artikel ini sangat menarik bagi Saya dan pemikiran yang Bapak sampaikan membantu membuka sudut pandang kritis, mendorong mahasiswa seperti saya untuk lebih peka melihat realitas politik, serta mengajak pembaca agar tidak hanya menerima kebijakan secara pasif, tetapi juga berani menafsirkan dan mengkritisinya.
Reshuffle pertama Kabinet Merah Putih di bawah Presiden Prabowo Subianto memperlihatkan wajah ganda politik Indonesia: di satu sisi ia diproyeksikan sebagai tanda penyegaran dan respons terhadap gejolak publik, namun di sisi lain justru menegaskan betapa kuatnya logika kompromi politik dalam tubuh pemerintahan. Pergantian Sri Mulyani dengan Purbaya Yudhi Sadewa menjadi titik krusial yang memperlihatkan dilema itu. Dari sudut pandang mahasiswa seperti saya yang terbiasa menimbang antara idealisme dan realitas, keputusan tersebut tampak lebih berat dengan kalkulasi politik ketimbang konsistensi kebijakan fiskal jangka panjang. Reaksi negatif pasar hanya mempertegas bahwa kredibilitas ekonomi tidak bisa dibangun lewat retorika politik, melainkan melalui integritas dan rekam jejak yang jelas.
Lebih jauh, publik kini tidak lagi menjadi penonton pasif yang menerima begitu saja setiap keputusan. Masyarakat aktif menafsirkan, mengkritik, bahkan menolak simbol politik yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Masuknya figur-figur baru seperti Mukhtarudin, Ferry Juliantono, dan Gus Irfan dengan cepat ditafsirkan sebagai bagian dari bagi-bagi kursi kekuasaan. Kekosongan jabatan di Menko Polkam dan Menpora pun dibaca sebagai bukti bahwa negosiasi elite lebih diutamakan ketimbang kepastian arah kebijakan. Dari perspektif mahasiswa, ini adalah pelajaran nyata bahwa demokrasi kita masih beroperasi dalam logika oligarki: keputusan penting sering kali lebih ditentukan oleh kalkulasi kekuasaan ketimbang kebutuhan rakyat.
Reshuffle memang membuka ruang harapan, tetapi harapan itu sangat rapuh. Setiap pergantian menteri hanya berarti sesuatu jika diikuti dengan transparansi, keberanian mengambil keputusan strategis, dan keterlibatan publik dalam prosesnya. Tanpa itu, reshuffle hanya menjadi monolog kekuasaan, sebuah pertunjukan simbolik yang miskin makna. Sebagai mahasiswa, penting bagi kita untuk tidak terjebak pada narasi resmi pemerintah, melainkan terus menagih akuntabilitas nyata. Yang mendesak bukan sekadar siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi bagaimana kebijakan mereka benar-benar menjawab persoalan rakyat: stabilitas ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta perlindungan sosial. Jika reshuffle gagal menjawab itu, maka ia hanya akan menambah daftar panjang kekecewaan publik terhadap janji-janji perubahan.
Menurut sudut pandang saya sebagai mahasiswa juga, reshuffle kabinet ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi bagus, karena Presiden berani mengambil langkah untuk mengganti menteri yang dianggap kurang maksimal. Itu artinya pemerintah mau mendengar kritik publik dan mencoba memberi harapan baru. Saya mengapresiasi langkah ini, karena setidaknya menunjukkan ada usaha untuk memperbaiki keadaan.Tapi di sisi lain, pergantian ini terasa masih kental dengan urusan politik. Misalnya, pergantian Sri Mulyani dengan Purbaya langsung bikin banyak orang khawatir soal kondisi ekonomi. Begitu juga dengan masuknya beberapa tokoh baru yang terlihat seperti "bagi-bagi kursi." Saya merasa rakyat sebenarnya butuh bukti nyata, bukan cuma rotasi jabatan.Jadi, saya puji keberanian Presiden untuk melakukan penyegaran, tapi saya juga berharap reshuffle ini jangan berhenti di seremoni saja. Yang ditunggu masyarakat itu hasil nyata dan apakah menteri baru bisa benar-benar bekerja lebih baik, lebih transparan, dan benar-benar fokus melayani rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI