Mohon tunggu...
Dimas Syaiful Amry
Dimas Syaiful Amry Mohon Tunggu... Konsultan Pendidikan Alternatif

Pengasuh di Sanggar Perdikan, sebuah wadah belajar bersama pada pendidikan, pengasuhan, dan pemberdayaan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menuju Pendidikan yang Membebaskan Pikiran

22 Mei 2025   08:22 Diperbarui: 22 Mei 2025   08:22 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di sepanjang sejarah umat manusia, pendidikan telah menjadi instrumen penentu arah peradaban: ia bisa menjadi alat pembebasan, namun bisa pula menjadi sarana penaklukan yang halus dan sistemik. Dalam konteks bangsa Indonesia hari ini, sistem pendidikan yang diwarisi pascakolonialisme dan diperkuat oleh ekonomi neoliberal tidak hanya kehilangan daya untuk mencerahkan, tetapi justru semakin menanamkan pola pikir mekanistik, reaktif, dan konsumtif---yang dalam istilah kontemporer disebut sebagai bias kognitif kolektif.

Bias kognitif, sebagaimana diuraikan dalam studi psikologi dan filsafat pikiran, adalah bentuk penyimpangan sistematis dalam proses berpikir manusia. Ia muncul bukan dari ketidaktahuan belaka, melainkan dari cara kerja bawah sadar yang dibentuk oleh pengalaman, bahasa, struktur sosial, dan teknologi informasi. Ketika bias ini tidak disadari dan tidak dikoreksi, ia menjadi fondasi dari keputusan-keputusan yang salah, pemahaman yang sempit, serta dunia batin yang dipenuhi dengan ilusi dan ketakutan.

Filsafat pikiran mengajarkan bahwa pikiran bukanlah entitas netral; ia adalah medan konflik antara struktur biologis, narasi sosial, dan spiritualitas manusia. Dengan kata lain, pendidikan yang ingin membangun manusia merdeka harus berani masuk ke dalam medan ini: membongkar narasi palsu yang hidup di kepala, memperlihatkan jebakan logika yang menyesatkan, dan menanamkan praktik berpikir reflektif sebagai kebiasaan harian.

Dalam kerangka ini, pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, melainkan sebuah perjalanan eksistensial menuju kesadaran. Ia bukan tentang bagaimana murid menghafal fakta, tetapi bagaimana mereka belajar melihat: melihat dirinya sendiri, melihat orang lain, dan melihat dunia secara utuh---melampaui dualisme benar-salah, kawan-lawan, untung-rugi.

Paradigma pendidikan yang baru harus dibangun atas tiga fondasi utama:

  1. Pembebasan Kognitif: Membekali anak-anak dengan kemampuan mendeteksi bias, mengkritisi informasi, dan memahami cara kerja pikirannya sendiri.
  2. Kesadaran Sistemik: Mengajarkan bagaimana struktur sosial, media, dan algoritma membentuk persepsi; serta bagaimana mengintervensinya secara sadar dan etis.
  3. Spiritualitas Reflektif: Menyadarkan bahwa kehidupan bukan sekadar kompetisi material, melainkan perjalanan ruhani untuk menjadi manusia yang lebih jernih, adil, dan rendah hati.

Inilah yang dimaksud dengan pendidikan Perdikan---yakni pendidikan yang membebaskan manusia dari penjajahan pikiran dan struktur yang membutakan kesadaran. Istilah Perdikan, yang berasal dari akar budaya Nusantara, menunjukkan satu wilayah merdeka yang tidak tunduk pada sistem eksploitatif, baik dalam bentuk kekuasaan politik maupun dogma ideologis. Masyarakat perdikan adalah masyarakat yang sadar akan pikirannya sendiri, mandiri dalam menentukan jalannya, dan tangguh menghadapi manipulasi zaman.

Pendidikan perdikan bukanlah utopia, melainkan kebutuhan historis. Ketika bangsa ini ingin lepas dari krisis multidimensi---politik yang banal, sosial yang terfragmentasi, dan ekonomi yang tidak berdaulat---maka tidak ada jalan lain kecuali membebaskan pikiran dari penjara bias dan mentalitas terjajah.

Tugas pendidikan ke depan bukan mencetak pekerja taat, tetapi melahirkan pemikir merdeka yang mampu membayangkan dunia baru. Dunia yang tidak dibangun atas dasar kerakusan dan kompetisi, melainkan atas kesadaran, kerja sama, dan welas asih. Inilah revolusi yang paling sunyi dan paling dalam: revolusi kesadaran manusia.

Arsitektur Kurikulum Sadar-Bias: Merancang Pendidikan yang Membongkar dan Menyadarkan

Pendidikan yang hendak membebaskan pikiran tak cukup berhenti pada semangat retoris; ia harus mewujud dalam struktur konkret: dalam bentuk kurikulum yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, melainkan merekayasa ulang cara berpikir manusia. Inilah yang disebut sebagai arsitektur kurikulum sadar-bias---sebuah rancangan pembelajaran yang menjadikan kesadaran kognitif sebagai tujuan utama pendidikan.

Dalam sistem pendidikan konvensional, kurikulum disusun dengan asumsi bahwa pengetahuan adalah netral, dan peserta didik adalah wadah kosong yang perlu diisi. Asumsi ini mengabaikan fakta mendasar bahwa setiap anak datang ke ruang belajar membawa pola pikir tertentu: paradigma yang diwarisi dari keluarga, mental model yang dibentuk oleh media, dan mindset yang dikondisikan oleh realitas sosial-ekonomi. Tanpa menyentuh lapisan-lapisan inilah, pendidikan akan terus menjadi kosmetik yang mempercantik ketidaktahuan.

Kurikulum sadar-bias menempatkan proses menyadari cara berpikir sebagai kompetensi dasar. Ia bukan hanya mengajarkan apa yang harus dipikirkan, tetapi bagaimana berpikir dengan jernih dan adil. Tujuan utama kurikulum ini adalah membentuk manusia yang:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun