Mohon tunggu...
Dimas Nugroho Samudra
Dimas Nugroho Samudra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Indonesia dan 'Hak'-nya yang Tertinggal

10 Juni 2025   01:37 Diperbarui: 10 Juni 2025   01:45 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bayangkan jika dunia ini tak mengenal hukum. Tak ada aturan yang melindungi, tak ada batas yang membatasi kekuasaan, tak ada pengakuan atas hak untuk hidup, berpendapat, belajar, atau sekadar merasa aman. Dunia menjadi hutan rimba, di mana hanya yang kuat bertahan dan yang lemah hanyalah sekadar angka dalam statistik. Beginilah kehidupan manusia yang digambarkan oleh Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan, ketika tidak ada hukum atau kekuasaan yang mengatur. Ia menyebutnya sebagai kehidupan yang “solitary, poor, nasty, brutish, and short”.  Manusia akan hidup dalam kesendirian, miskin secara materi dan rasa aman, kejam terhadap sesamanya, biadab dalam cara hidup, dan berumur pendek karena kekerasan bisa datang kapan saja. Dalam kondisi seperti itu, tak ada ruang bagi kasih sayang, kepercayaan, atau keadilan. Yang berkuasa bukan hukum, namun ketakutan. Pandangan ini tentunya terasa sedikit pesimistis jika dibandingkan dengan Jean-Jacques Rousseau, yang justru percaya bahwa manusia pada dasarnya baik, hanya saja sistem sosial yang rusak membuat manusia saling menyakiti. Ia meyakini bahwa sejak lahir, manusia membawa benih kebaikan yang tumbuh melalui pendidikan, lingkungan, dan contoh dari masyarakatnya. Jika kekacauan sosial melahirkan kekerasan, maka keadilan hanya mungkin tumbuh jika manusia dididik untuk saling menghormati.

Dari pergumulan pemikiran antara Hobbes dan Rousseau, dunia mulai merumuskan makna keadilan yang lebih luas. Keadilan bukan hanya tentang siapa yang benar dan siapa yang kalah, tapi tentang bagaimana setiap manusia diperlakukan. Hal ini menjadi gagasan awal lahirnya Hak Asasi Manusia. Hak yang melekat bukan karena kekayaan, kekuasaan, atau status sosial, tapi karena kita manusia. Sejarah mencatat, dari Eropa yang sedang bergolak, muncul Declaration of the Rights of Man and of the Citizen di Prancis tahun 1789. Sebuah naskah perlawanan terhadap feodalisme dan ketidakadilan. Di sana tertulis: manusia dilahirkan bebas dan memiliki hak-hak yang setara. Dan setelah dunia tersungkur dalam kengerian dua perang besar, dunia kembali bersepakat untuk menyusun Universal Declaration of Human Rights pada 1948. Naskah ini bukan hanya sekadar dokumen. Ia adalah penanda bahwa dunia, untuk pertama kalinya, menulis luka-lukanya dalam bentuk komitmen.

Antara Akar dan Kenyataan: Potret HAM di Indonesia

HAM bukan sekadar dokumen global yang dikeluarkan oleh bangsa-bangsa besar. Sejarah HAM di Indonesia pun memiliki akar yang kuat. Bahkan sebelum merdeka, para pendiri bangsa telah menyusun konsep negara yang menjunjung tinggi harkat manusia. Bung Hatta dan Bung Karno, misalnya, menyuarakan pentingnya keadilan sosial dan kemanusiaan dalam sidang-sidang BPUPKI. Hasilnya: Pancasila lahir dengan sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tak berhenti di situ, UUD 1945 kemudian memuat jaminan hak-hak asasi warga dalam Pasal 28 dan seluruh turunannya, sebuah bentuk pengakuan bahwa manusia Indonesia tak hanya punya kewajiban, tapi juga martabat yang harus dihormati. Namun pertanyaannya: sejauh mana akar itu tumbuh menjadi kenyataan? Seberapa dalam nilai-nilai HAM meresap dalam perilaku berbangsa dan bernegara hari ini?

Catatan Akhir Tahun 2024 Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dirilis oleh Komnas HAM memperkuat kenyataan ini. Sepanjang tahun lalu, Komnas HAM menerima 2.305 aduan kasus pelanggaran HAM yang tersebar di seluruh Indonesia dan bahkan dari luar negeri. Kasus–kasus tersebut terjadi mulai dari tingkat aparatur hingga antar warga negara. Mulai dari kasus penembakan pelajar di semarang, kenaikan UKT PTN, penolakan serikat pengemudi Ojek Online hingga kasus pembunuhan Vina di Cirebon.

Dari hal ini saya memandang, HAM di Indonesia seperti benih yang telah ditanam sejak lama, namun belum tumbuh sepenuhnya menjadi pohon rindang yang menaungi semua warga negara secara adil. Ia memang hidup dalam teks-teks hukum, tapi belum sepenuhnya merasuk dalam perilaku sosial. Ketika kita bangga memiliki Pancasila dan konstitusi yang menjunjung tinggi martabat manusia, namun sebenarnya dalam praktik, keadilan dan perlindungan hak masih menjadi sesuatu yang bersyarat, tergantung siapa yang menjadi korban, siapa yang bersuara, dan siapa yang berani peduli. Apakah kondisi ini benar-benar akan seperti ini selamanya? Apakah kita bisa merubah ini semua, menyiapkan generasi yang akan menanamkan dan merawatnya?

Bonus Demografi: Peluang Indonesia untuk Mendapatkan Kembali 'Hak'-nya 

Jika sejak kecil, anak-anak Indonesia tumbuh dengan nilai yang telah membudaya dalam diri mereka: bahwa setiap orang punya hak yang sama, bahwa kewajiban harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, dan bahwa melanggar hak orang lain adalah hal yang tak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun.

Nilai-nilai itu mulai ditanamkan oleh orang tua nya dirumah, oleh gurunya di sekolah, di lingkungan nya sehingga nilai-nilai itu terinternalisasi secara perlahan namun sistematis, dan akhirnya tertanam kuat dan menjadi bagian dari cara mereka berpikir, maka kita tak perlu menunggu datangnya keajaiban untuk mencapai Indonesia Emas. Kita akan melihat generasi-generasi seperti itu 20 tahun mendatang. Generasi yang jujur, adil, berani bicara untuk kebenaran, dan menjunjung tinggi rasa hormat terhadap sesama. Mungkin saat itu pula, kita tak lagi menyaksikan berita-berita tentang korupsi, kekerasan, atau ketidakadilan yang terus berulang tersiar dari gawai maupun televisi, dari generasi ke generasi.

Dewasa ini, di mana perubahan sudah menjadi bagian dari keseharian, dan dunia terus bergerak tanpa memberi ruang untuk yang tertinggal, dapat saya katakan bahwa mengubah pola pikir bangsa bukanlah hal yang mustahil. Justru, sekarang adalah saat yang paling tepat. Kita tengah berada di persimpangan sejarah: memilih untuk bertahan dengan cara lama, atau melompat menuju masa depan yang lebih beradab.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia kini tengah berada dalam masa bonus demografi, dengan puncaknya diperkirakan terjadi pada periode 2030 hingga 2045. Artinya, pada saat itu mayoritas penduduk kita adalah mereka yang berada pada usia produktif, yakni antara 15 hingga 64 tahun, yang jumlahnya dua kali lipat dari kelompok anak-anak dan lansia. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah kesempatan emas, yang hanya datang sekali dalam satu siklus sejarah bangsa. Di masa inilah kita bisa menentukan arah: menjadi negara maju yang kuat secara sumber daya manusia, atau terjebak dalam krisis sosial karena gagal membentuk karakter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun