Di bawah langit Bone --- tanah Arung Palakka yang pernah mencetak nama-nama besar sejarah Sulawesi Selatan --- ada potensi generasi muda yang belum sepenuhnya tergugah untuk menjadi agen perubahan sistemik. Data terbaru menunjukkan Kabupaten Bone pada 2023 memiliki jumlah penduduk sekitar 817.360 jiwa; sekitar sepertiga penduduknya adalah generasi muda yang bisa menjadi mesin perubahan sosial jika diarahkan dengan pendidikan politik dan organisasi yang matang.Â
Namun potensi ini tak otomatis menghadirkan keadilan sosial. BPS Kabupaten Bone melaporkan persentase penduduk miskin sebesar 10,53% pada Maret 2023 --- sebuah angka yang mengingatkan bahwa pembangunan belum sepenuhnya menyentuh akar kehidupan rakyat marhaen di tingkat desa dan kota. Di banyak sudut Bone, akses lapangan kerja berkualitas, fasilitas pendidikan tinggi, dan pelayanan publik masih memerlukan perhatian serius. Angka-angka ini bukan sekadar statistik: mereka adalah wajah-wajah keluarga petani, buruh migran lokal, dan anak-anak desa yang memerlukan solidaritas nyata.Â
Dalam situasi seperti ini, organisasi mahasiswa progresif seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) menawarkan ruang berorganisasi yang tidak hanya mengembangkan kapasitas intelektual, tetapi juga membentuk etika perjuangan yang berorientasi pada rakyat. GMNI bukan sekadar label politik; ia warisan tradisi pergerakan mahasiswa yang ingin menyambungkan idealisme kampus dengan realitas rakyat marhaen. Di Bone, tempat kecintaan pada tanah kelahiran dan kebanggaan lokal kuat, GMNI bisa menjadi jembatan antara kecintaan itu dan aksi kolektif yang berkelanjutan.
Sukarno mengingatkan kita tentang pentingnya menyatukan kekuatan revolusioner. Dalam pembelaannya dan tulisan-tulisannya yang legendaris, Bung Karno selalu menegaskan bahwa bangsa ini membutuhkan kesadaran kolektif untuk melawan imperialisme dan ketidakadilan. Perkataan beliau bahwa revolusi bukan sekadar slogan melainkan tugas nyata yang harus dibawa dalam praktik sehari-hari menjadi relevan ketika kita menatap persoalan ketimpangan di Bone hari ini. Ketika mahasiswa Bone membaca kembali teks-tesk seperti Indonesia Menggugat atau pidato-pidato Bung Karno, mereka tidak sedang merayakan masa lalu---mereka sedang membaca peta untuk berjuang hari ini.Â
Mengapa GMNI? Karena organisasi ini menyediakan tiga hal yang amat penting bagi mahasiswa Bone: (1) pendidikan politik yang sistematis; (2) pengalaman praktik perjuangan sosial; dan (3) jaringan solidaritas yang melampaui kampus. Pertama, pendidikan politik: GMNI mengajarkan bagaimana membaca kenyataan ekonomi-politik---mengaitkan angka-angka kemiskinan, pengangguran, dan gagalnya akses pendidikan dengan kebijakan publik dan struktur ekonomi. Dengan pemahaman ini, mahasiswa tak lagi menjadi pengamat pasif melainkan aktor yang mampu memformulasikan tuntutan dan alternatif kebijakan. Data BPS tentang distribusi fasilitas pendidikan dan jumlah lembaga pendidikan di Bone menunjukkan celah yang bisa diisi oleh inisiatif mahasiswa dalam advokasi pendidikan dan program pemberdayaan.Â
Kedua, praktik perjuangan: organisasi bukan sekedar diskusi; ia mengajarkan seni berorganisasi---mengorganisir massa, berkoalisi dengan kelompok tani, buruh informal, dan masyarakat adat lokal. Di Bone, banyak persoalan agraria, infrastruktur pedesaan, dan lapangan kerja informal yang membutuhkan pendampingan dan advokasi jangka panjang. GMNI, dengan tradisi marhaenismenya, idealnya hadir bukan sebagai penyelamat yang datang dan pergi, melainkan sebagai mitra perjuangan rakyat.
Ketiga, jaringan solidaritas: perubahan struktural jarang terjadi oleh satu individu atau satu kampus. Ia butuh jaringan, aliansi, dan kesabaran. GMNI memiliki tradisi membangun relasi antarwilayah---kesempatan bagi mahasiswa Bone untuk belajar dari pengalaman gerakan di daerah lain, serta mengangkat isu Bone ke percakapan nasional.
Tidak sedikit tokoh pemikir revolusioner Indonesia yang menegaskan kebutuhan praktik yang berpijak pada rakyat. Tan Malaka, misalnya, menekankan pentingnya pemikiran yang bersumber dari realitas rakyat dan menolak romantisme perjuangan tanpa landasan ilmiah dan strategis. Pemikirannya menantang kita untuk menggabungkan analisis yang tajam dengan aksi massal yang terorganisir---sebuah pengingat penting bagi mahasiswa yang ingin bergerak namun takut terseret ke aktivitas tanpa arah.Â
Sementara sastrawan dan pemikir seperti Pramoedya Ananta Toer mengingatkan bahwa sejarah dan narasi rakyat adalah modal besar perlawanan. Pramoedya menyatakan, pada intinya, sejarah tak hanya dibuat oleh "orang besar" tetapi oleh orang-orang biasa yang berani bangkit---pesan yang menguatkan perspektif marhaen: kekuatan perubahan ada pada massa yang terorganisir. Ketika mahasiswa Bone mengorganisir diri, mereka sedang menulis bab baru sejarah lokal yang kelak bisa menjadi inspirasi nasional.Â
Praktisnya, apa yang bisa dilakukan mahasiswa Bone hari ini? Pertama, bentuk sel-sel kampus GMNI di setiap fakultas---bukan untuk mengejar kuota anggota, tetapi untuk membangun kapasitas kader: pelatihan advokasi kebijakan publik, alfabetisasi data (membaca statistik like BPS), serta studi tentang masalah agraria dan ekonomi lokal. Kedua, jalin kerja nyata dengan kelompok tani dan komunitas perempuan di desa---program-program litbang aksi (penelitian + aksi) bisa menjadi cara efektif menyambungkan teori dan praksis. Ketiga, publikasi dan komunikasi---manfaatkan media kampus, media lokal, dan media sosial untuk mengangkat narasi rakyat Bone; data dan kisah nyata akan mengubah opini publik lebih kuat daripada kata-kata retorik belaka. (Untuk rujukan data dan cara membaca statistik, BPS Bone telah menerbitkan Kabupaten Bone Dalam Angka 2023 yang sangat berguna sebagai bahan kajian awal.)Â