Selama berabad-abad, Israel diposisikan dalam narasi keagamaan sebagai "bangsa pilihan Tuhan". Klaim ini menjadi bagian dari keyakinan teologis yang dipercaya oleh sebagian umat Yahudi dan Kristen, dan menjadi legitimasi politik dalam kebijakan kolonialisme modern di Palestina dan tentunya menyerang Bangsa Arab dan mendiskreditkan nya. Namun, apakah benar Israel adalah bangsa yang dipilih Tuhan secara eksklusif dan kekal? Ataukah ini hanya mitos yang terus dipertahankan demi kepentingan politik?
Akar Teologis: Pilihan Tuhan dalam Kitab Suci
Dalam Perjanjian Lama, klaim tentang "bangsa pilihan" memang termaktub. Ulangan 7:6 menyatakan:
> "Sebab engkau adalah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang dipilih TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya."
Namun konteks historisnya penting. Ayat-ayat seperti itu berbicara dalam konteks perjanjian (covenant) antara Tuhan dan Bani Israel, bukan dalam pengertian eksklusivitas rasial abadi. Dalam Yesaya 42:6, Tuhan menyatakan bahwa Israel harus menjadi "terang bagi bangsa-bangsa", bukan penindas atas bangsa-bangsa.
Para teolog seperti Walter Brueggemann, dalam bukunya The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith, menyatakan bahwa tanah yang dijanjikan bukanlah hak milik mutlak, tetapi anugerah bersyarat. Jika bangsa Israel tidak setia dan adil, maka hak itu bisa hilang. "The promise is conditional," tulisnya.
Lebih lanjut, Karen Armstrong, mantan biarawati dan ahli sejarah agama, menegaskan bahwa mitos tanah suci dan bangsa pilihan harus dibaca secara simbolik, bukan harfiah. Dalam bukunya Jerusalem: One City, Three Faiths, Armstrong menulis bahwa "ketika mitos digunakan untuk membenarkan kekerasan, ia kehilangan maknanya sebagai kebenaran spiritual."
Klaim Keistimewaan dan Realitas Politik
Klaim keistimewaan Israel telah bertransformasi dari mitos spiritual menjadi alat pembenaran politik modern. Sejak deklarasi berdirinya negara Israel tahun 1948, retorika "bangsa pilihan" kerap digunakan untuk membenarkan kebijakan kolonial terhadap rakyat Palestina. Ini terlihat dalam perluasan permukiman ilegal di Tepi Barat, blokade Gaza, hingga tindakan militer yang mengakibatkan ribuan korban sipil.
Menurut laporan terbaru Al Jazeera (Juni 2025), lebih dari 37.000 warga Palestina telah terbunuh dalam serangan militer Israel di Gaza sejak Oktober 2023. Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak. Dalam laporan Amnesty International (2024), dinyatakan bahwa tindakan Israel terhadap warga Palestina "mungkin memenuhi definisi apartheid berdasarkan hukum internasional."