Mohon tunggu...
Dimas Hayon
Dimas Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Alumni SMAS Seminari San Dominggo Hokeng (2018) Mahasiswa Program studi Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Abdi Negara Abdi Keluarga

24 Januari 2022   08:00 Diperbarui: 24 Januari 2022   08:03 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ayah, di manakah engkau? Aku sudah beranjak dewasa dan hanya menemukan ibu dipeluk tidurku setiap malam. Laki-laki yang aku tahu ialah adik dari ibuku. Lalu, di mana engkau ayah?” Aku membatin di setiap tanah yang basah oleh hujan. Aku tidak mengerti mengapa di setiap kali datang rintik, pertanyaan itu selalu muncul. Aku bahkan tidak bisa melepaskan itu sampai dengan hari ini.

Aku Frans yang lahir dari keluarga rumpang. Aku hanya menemukan ibu, sebab ayah entah ke mana. Aku juga hanya menemukan nenek di rumah tanpa kakek yang tidak tahu ada di mana. Untungnya ada laki-laki di rumah selain aku yang adalah adik dari ibuku. Tetapi tidak habis di sini. Kakak laki-lakiku mengalami gangguan jiwa yang akut dan mengkristal di tubuh. Aku ingin sekali bermain bersama mereka, tetapi tidak pernah kesampaian sebab mereka seringkali berkegiatan sendiri dengan wajah yang selalu tersenyum. Aku ingin bermain juga dengan nenek dan ibu. Sayang sekali, mereka harus bekerja untuk menafkahiku. Nenek selalu di kebun dari pagi sampai malam. Begitupun ibu, ia selalu bekerja di warung dari pagi hingga sore. Sementara kedua kakak laki-laki  ada di rumah. Mereka duduk bersimpuh senyum bak darah yang mengalir tiada henti. Malam kami selalu berkumpul tetapi sesaat saja sebab mereka sudah kelelahan bekerja seharian. Aku akhirnya menutupi hari dengan berdiri sendiri tanpa mainan, tanpa kasih dan perhatian, dan tanpa semuanya. Jika aku sesekali menuntut membeli jajanan, ibu akan berteriak memarahiku bahkan yang lebih sadis memukul kepalaku dengan kepalan tangannya. Bayangkan, ibuku sungguh keras kepala, tegas, kejam dan tiada kompromi.

Aku mencari kebahagiaan di sekolah, di lingkungan luar rumahku. Mencari hiburan, kedamaian, yang tidak pernah aku dapatkan di rumah. Aku sempat bergabung dengan kelompok teman-temanku di sekolah. Mereka  menuntut di setiap pertemuan harus membawa uang jajan biar bisa jajan bersama. Aku harus mundur sebab sepeser pun aku tidak pernah memegangnya. Aku mencari kelompok teman yang lain tetapi semua kelompok memberlakukan hal yang sama. Aku hanya menatap dan menyimpan semua rasa sesak ini di dada; hatiku.

Aku bersekolah di SMP Negeri. Saat duduk di kelas VIII, semua siswa wajib membawa telepon genggam ke sekolah karena pembelajaran dan semua tugas akan dilakukan secara online. Aku jadi makin sesak bahkan tak tahu harus meminta kepada siapa. Uang 1000 rupiah pun tidak pernah ada di tangan, bagaimana dengan telepon genggam berharga jutaan rupiah? Aku hampir pasti ingin meninggalkan sekolah. Aku sampai berpikir ingin mengakhiri hidupku karena rumah, keluarga dan semuanya seperti sia-sia dalam hidupku. “Apa Tuhan keliru melukis takdir?” Tanyaku di dalam sesak hatiku.

Aku kembali ke rumah, dengan rima langkah kaki yang melambat, keringat pilu yang keluh, dengan tas ransel yang bolong di bahuku. Sepatuku berlubang dan jahitannya sudah lepas. Aku seperti bukan anak sekolah yang baik jika dilihat dari penampilanku. Aku tiba di rumah dan melihat kedua kakak laki-lakikku duduk dan menebar senyum begitu saja dengan tatapan kosong. Kemudian, aku makan dengan nasi putih yang dicampur air dan garam. Ini makanan paling enak di tengah siang. Mau apalagi? Membeli lauk itu adalah sesuatu yang cukup mustahil. Entahlah. Aku hanya tahu bahwa selama ini cuman ada nasi dan ditemani air putih.

Ibu pulang saat matahari sudah tenggelam. Aku menyalami sambil memberi kabar bahwa aku harus memiliki telepon genggam. Ibu kaget dan seperti dugaanku, ia malah mendukungku untuk berhenti bersekolah saja dan membantu nenek di kebun. Aku benar-benar pasrah sebab tiada pilihan lain ketika aku berhadapan dengan ibu dan keluarga di rumah. Berhenti sekolah adalah jalan pintas paling aman yang diambil ibu dan paling sakit  yang dirasaku.

Aku kembali lagi ke sekolah dengan langkah lemas dan pikiran yang kacau. Aku kelelahan sebab semalam berpikir bagaimana harus meninggalkan sekolah, tempat di mana harapan akan tersenyum itu ada. Senyum yang tidak hadir seperti kedua kakak laki-lakiku. Senyum yang benar mekar dengan tulus lantaran aku sedikitnya bisa merasakan yang namanya bahagia sebagai anak remaja yang suka bermain.

Aku sudah tidak tahu harus ke mana. Kemudian, aku putuskan untuk menjadikan doa sebagai jalan terakhir. Bait-bait doa yang kurapalkan tidak manis-manis. Aku berdoa untuk meminta jalan terbaik bagi hidupku dan demi keluargaku. Benar saja, tiga hari kemudian aku dibelikan telepon genggam oleh ibuku yang entah kena sihir dari mana. Yang jelas, aku yakin sekali karena doa-doa yang aku tetaskan akhirnya menjadi kenyataan.

Baru kugenggam telepon sebentar, ibu langsung memberitahu bahwa aku akan dipindahkan ke panti asuhan di daerahku agar bisa diurus oleh petugas di sana. Badai kali ini lebih hebat lagi. Aku diam saja sambil meneteskan butir air mata paling piatu, juga sedih. Ibu tidak merespon karena menganggap itu hal yang lumrah barangkali. Tapi jujur, aku sakit hati untuk kesekian kalinya. Aku merasa seperti digadai begitu saja. Tidak pernah terbayangkan bahwa aku harus pergi dari rumah ini secepatnya. Sungguh ini terlalu perih. Kata ibu, dua hari lagi aku akan berangkat. Lalu, aku untuk yang kesekian, terlelap di palung tangan ibu yang menggenggam dalam tidur tapi dengan suasana hati yang gelisah. Kebahagiaan menerima telepon genggam harus patah dengan kabar yang ibu suapkan di ujung kepala dan telingaku.  

Ini adalah waktunya, ketika mobil panti datang menjemputku. Para petugas dengan senyum ramah membantuku membawa barang-barangku yang seadanya. Aku tiba di panti dan menemukan begitu banyak teman-teman baruku, laki-laki dan perempuan. Pertanyaan yang singgah di kepalaku “apa mereka punya masalah yang sama denganku?” Mungkin saja ia , mungkin saja tidak.

Aku diterima baik oleh hampir semua orang di situ. Beberapa mungkin kesal kedatangan anak baru. Beberapa dari mereka sempat bercengkerama denganku. Mereka mengarahkan aku  ke kamar tidur yang berisikan 6 orang dalam satu kamar, mengantarku melihat kamar mandi, biar ketika malam telah tiba dan tidur sudah terlalu lelap, aku tidak membangunkan mereka hanya karena ingin bertanya letak toilet di mana. Selanjutnya mereka memberi tahu ruang belajar, tempat kerja, kebun, dapur dan semua hal lain yang akan saya kerjakan selama hidup di sini. Dan satu lagi yang istimewa ialah ada ruang doa khusus yang khusyuk. Aku bersyukur sekali dengan adanya tempat ini. Sungguh tak tertandingi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun