Mohon tunggu...
Dimas Dwi Putra
Dimas Dwi Putra Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pertahanan Republik Indonesia

Saya merupakan seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Pertahanan Republik Indonesia sekaligus konsultan politik dari lembaga konsultan Citra Media Research.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Kebudayaan: Langkah dan Kebijakan Strategis Mao Zedong

22 Mei 2024   02:16 Diperbarui: 22 Mei 2024   02:33 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mao Zedong (1893-1976) merupakan seorang politikus Tiongkok, intelektual, tokoh militer Tiongkokk, dan juga pemimpin Partai Komunis Tingkok. Di antara berbagai tokoh pemimpin dunia, nama Mao Zedong termasuk yang paling termahsyur karena Mao dikenal sebagai tokoh yang mampu mengembalikan Tiongkok untuk setia pada jalan revolusi. Oleh karena itu, pemikirannya tentang Revolusi Kebudayaan dan kebijakan yang dikenal sebagai "lompatan jauh ke depan" menjadi menarik untuk diteliti sebagai salah satu referensi penting dalam kajian-kajian strategis dalam dunia akademik.

Revolusi Kebudayaan sebagai wacana nasional yang dicanangkan oleh Mao tentu tidak luput dari konteks sosial-politik yang saat itu sedang berlangsung. Kondisi perekonomian Tiongkok medio 1960-an yang saat itu cenderung bergerak stagnan berhasil memaksa Tiongkok untuk terseret dalam perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hal ini diprakarsai oleh dugaan Mao tentang banyaknya intelektual dan pejabat serta petinggi Partai Komunis Tiongkok yang lambat laun senantiasa menyerukan kebebasan berpendapat dan mulai mengkritisi perkembangan ideologi komunis di Tiongkok secara terbuka.

Dalam kajian studi politik, sistem politik komunis memang pada dasarnya menitikberatkan kendali masyarakat sepenuhnya kepada negara dengan tujuan untuk mencapai revolusi secara final, sehingga hal-hal seperti kebebasan individu dan kebebasan berekspresi dianggap sebagai sebuah tindakan yang kontra-revolusioner. Mao yang kemudian menduga bahwa telah terjadi sebuah gerakan revisionis-liberal yang dilakukan secara intelijen kemudian membuat sebuah wacana pemurnian revolusi untuk kembali pada tujuan awal yang ia sebut sebagai revolusi kebudayaan. Hal ini ditujukan untuk menghindari Tiongkok dari gerakan kontra-revolusioner atau menyimpang seperti kapitalisme, demokrasi, dan penciptaan kelas sosial yang tentunya sangat ditentang dalam sistem politik komunis.

Sebagai konteks, kapitalisme ditentang oleh para komunis sebab sistem ekonomi tersebut akan menciptakan pembelahan kelas sosial yang menjadi akar dari terjadinya kesengsaraan di tubuh masyarakat. Oleh karena itu, revolusi kebudayaan dibentuk sebagai langkah strategis Tiongkok untuk tidak terperangkap dalam pergulatan ideologi barat, terutama Amerika Serikat. Revolusi kebudayaan ini mulai dijalankan pada tahun 1966 hingga 1976. Bentuknya beragam, mulai dari penutupan universitas, sekolah, penghapusan budaya elitis Tionghoa lama sampai pengasingan masyarakat yang dianggap mendukung gerakan-gerakan kontra-revolusioner.

Hal-hal strategis seperti penutupan universitas dilakukan karena pada saat itu, begitu banyak para akademisi dan dosen yang secara terang-terangan mengkritik komunime dengan mengajarkan hal sebaliknya: bahwa kapitalisme merupakan langkah yang lebih relevan. Hal ini turut didukung oleh banyaknya poster perlawanan di jalan yang dibuat oleh para agresor liberal-revisionis. Alhasil, Mao memerintahkan para aparatur negara dan masyarakat yang masih setia pada jalan komunisme untuk turut mengindentifikasi para agresor tersebut untuk kembali "dididik" dengan cara diasingkan ke daerah-daerah terpencil untuk kembali belajar dan hidup bersama petani yang merdeka tanpa adanya tuan tanah. Belajar bertani, berkebun, dan hidup secara sederhana. Sebagai catatan, tuan tanah marak terjadi pada negara-negara dengan sistem ekonomi liberal. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada "kebenaran komunisme". Lebih dari itu, kebijakan ini juga dilakukan sebagai upaya transmigrasi masyarakat perkotaan dari populasi masyarakat yang mulai menumpuk. Mao juga menelaah bahwa secara kesejarahan, sistem masyarakat Tiongkok memang erat dengan budaya elitisme sehingga Mao menghapus segala sistem yang mendahulukan para elit, seperti sekolah, rumah sakit, sampai sandang dan pangan dengan wacana agar seluruh masyarakat bisa menikmati negara secara adil dan sama rata.


Pemikiran Mao Zedong tentang revolusi kebudayaan telah tertulis dalam naskah sejarah sebagai satu pemikiran strategis yang kemudian berhasil menyelamatkan Tiongkok dari gerakan-gerakan kontra-revolusioner.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun