Salah satu peristiwa penting dalam kalender Islam adalah Maulid Nabi Muhammad SAW, yang dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia. Selain merayakan kelahiran Nabi, peringatan ini juga digunakan untuk memperkuat iman dan mempererat persaudaraan antara umat. Di Indonesia, yang dikenal memiliki banyak tradisi dan budaya yang berbeda, perayaan Maulid Nabi sering kali diwarnai dengan berbagai ritual dan adat istiadat yang berbeda, yang mencerminkan budaya lokal yang kaya.
Upacara tradisi Meron, yang dilakukan setiap tanggal 12 Maulid untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, adalah salah satu budaya yang ada di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Upacara ini mirip dengan Grebeg Maulid (Sekatenan) yang dilakukan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Kebudayaan masyarakat Desa Sukolilo berasal dari perpaduan berbagai budaya, yang memberikan ciri khasnya sendiri. Ini terlihat dalam acara Meron, di mana ada banyak hal yang menarik selama arak-arakan, dengan Meron menjadi pusat perhatian di bangunan yang dihiasi berbagai ornamen. Selain itu, arak-arakan juga mengadakan pasar malam untuk memeriahkan acara, serta acara lain seperti leangleong, drumband, dan tarian.
Meron, yang dalam bahasa Kawi berarti "gunungan", adalah nama peralatan yang diarak selama upacara Meron. Nama ini diberikan karena bentuknya mirip dengan gunung. Meron ini dilengkapi dengan berbagai uborampe atau perlengkapan yang dipandang oleh masyarakat memiliki nilai filosofis dan pedagogis (Ali Zuhdi, 2005:6). Menurut Claire Holt (dalam Dharsono, 2007:133), orang Jawa menganggap gunung yang tinggi dan tertutup awan sebagai tempat yang penuh misteri dan dianggap keramat. Oleh karena itu, orang-orang terus menghormati gunung ini hingga hari ini. Gunungan berfungsi sebagai penghubung antara dunia bawah dan dunia atas (Purwanto, 2005).
Namun, banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami makna, nilai, dan simbol yang terkandung dalam Meron atau gunungan yang digunakan dalam arak-arakan tradisi tersebut. Meron terdiri dari berbagai bahan yang disusun menjadi satu kesatuan yang utuh sesuai dengan aturan penyusunan kuno. Struktur dan elemen estetika yang ditemukan dalam kaidah Jawa sangat jelas diterapkan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjelaskan makna, nilai, dan simbol dari setiap bahan yang digunakan, sehingga perlengkapan dalam Meron tidak hanya dilihat dari segi fisiknya. Setiap bahan memiliki makna yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan perlengkapan tersebut dapat berfungsi sebagai pedoman untuk berperilaku. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang makna, nilai, dan simbol yang terkandung dalam perlengkapan arak-arakan, terutama dalam tradisi Meron, diperlukan penyelidikan empiris. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki fungsi dan nilai estetika Meron dalam perayaan Maulid Nabi di Desa Sukolilo, Pati.
Proses upacara Meron di Gunung Kendeng, Kabupaten Pati, terdiri dari empat tahap penting: persiapan, malam tirakatan, pelaksanaan prosesi Meron, dan setelah pelaksanaan. Tahap awal melibatkan pemilihan panitia, penjadwalan, dan menyusun acara untuk prosesi. Ketua Yayasan Meron Indonesia, Abdul Kodir, dan pengurus yang terdiri dari perangkat desa dan tokoh masyarakat sekarang bertanggung jawab secara langsung atas pemilihan panitia sejak didirikan. Waktu pelaksanaan diatur menurut tahun aboge (penanggalan Jawa), yang hampir sama dengan penanggalan Arab, yaitu 12 Rabiul Awal. Selanjutnya, panitia, perangkat desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat melakukan ziarah bersama ke makam Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among, seorang prajurit Mataram yang meninggal di Sukolilo selama pertempuran melawan Adipati Pragola I.
Malam tirakatan adalah tahap kedua; ini adalah persiapan malam sebelum acara Meron. Pada malam ini, kepala desa, perangkat desa, dan tokoh masyarakat masing-masing menyiapkan uborampe, seperti ancak, mustaka, dan gunung Meron. Selain itu, untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah, kepala desa dan tokoh masyarakat mengadakan pembacaan shalawat nabi (sejarah nabi) di rumah mereka. Ini dilakukan tanpa memandang latar belakang mereka. Malam tirakatan juga menjadi pusat hiburan masyarakat, dengan barongan, leang-leong, tongklek, dan acara seni lainnya.
Upacara Meron, akhir dari persiapan selama sebulan, dilakukan pada tahap ketiga. Pada malam tirakatan, orang-orang bekerja sama untuk merias uborampe gunung Meron. Puncak acara, yang dihadiri oleh Ketua Yayasan Meron Indonesia, kepala desa, perangkat desa Sukolilo, dan tokoh agama yang mengenakan pakaian adat Jawa, diarak menuju Masjid Baitul Yaqin dengan gamelan, terbang, dan kesenian lainnya.
Setelah prosesi selesai, gunungan Meron yang telah ditata rapi akan dibagikan. Upacara Meron dimulai dengan pembacaan surat Al-Fatihah setelah sholat dhuhur. Kemudian ada pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an dan sambutan dari Abdul Qodir, kepala desa, bupati Pati, dan Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Kegiatan utama adalah Bapak Ali Zuhdi membacakan kisah tentang Meron dalam bahasa Jawa. Bapak Zuhdi adalah keturunan dari Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among, yang merupakan pendiri tradisi Meron di Sukolilo. Dalam pembacaan tersebut, Sultan Mataram mengirim Sura Kadam untuk menaklukkan Pati, tetapi dia kalah melawan Adipati Pragola I.. Saat beristirahat di Gunung Kendeng, Sura Kadam meminta izin kepada Ki Suta untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad. Ini akan serupa dengan perayaan Sekaten di Solo, yang terus dilakukan hingga saat ini. Nilai-nilai sosial-religius yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang diingat melalui pembacaan sejarah Meron.
Tahap terakhir terjadi setelah prosesi Meron selesai. Prosesi ini mengharapkan keberkahan dari isi Gunung Kendeng, dan nasi kenduri dan buah-buahan yang diberikan oleh Ketua Yayasan Meron Indonesia, kepala desa, perangkat desa, dan tokoh agama dan masyarakat dibagikan kepada ribuan orang yang hadir, yang terdiri dari orang-orang lokal dan asing yang tinggal di Gunung Kendeng.
Kesimpulannya Hasilnya adalah bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, terutama upacara Meron di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, memiliki makna dan nilai budaya yang signifikan. Tradisi ini tidak hanya dilakukan untuk mengingat kelahiran Nabi, tetapi juga untuk memperkuat iman dan mempererat hubungan antara orang Muslim. Upacara Meron terdiri dari empat fase penting: persiapan, malam tirakatan, pelaksanaan prosesi, dan setelah pelaksanaan. Semua fase ini melibatkan masyarakat secara aktif dan menunjukkan kekayaan budaya lokal.
Meron diarak seperti gunung dengan berbagai uborampe yang bermakna filosofis dan pedagogis. Terlepas dari fakta bahwa banyak komunitas belum sepenuhnya memahami makna simbolik dari Meron, pentingnya tradisi ini terletak pada kemampuan untuk memberikan nilai-nilai sosial-religius yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Tradisi Meron melibatkan berbagai aspek budaya, seperti pembacaan sejarah dan pertunjukan seni. Ini juga menjadi perayaan spiritual dan pengingat akan pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya. Upacara ini diharapkan dapat membuat seluruh masyarakat, baik penduduk lokal maupun pendatang, merasakan keberkahan, memperkuat persaudaraan.