Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

BPOM Bukan Tukang Sidak Parsel Lebaran Saja

18 Juli 2017   10:18 Diperbarui: 18 Juli 2017   11:47 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cek KLIK (food.detik.com)

Masih ingat samyang? Mi instan asal Korea yang sempat menjadi viral di Indonesia karena ditemukannya DNA babi di dalamnya. Penarikan besar-besaran produk tersebut pun dilakukan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) guna menindak lanjuti keresahan masyarakat.

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada hari Minggu (09/07/2017) produk mi instan Samyang Hot Chiken Ramen asal Korea dipergoki tersusun rapi di rak swalayan sebuah mal di kawasan Semanggi, Setiabudi, Jakarta Selatan. Seperti yang dilangsir oleh Kompas.com. Untuk lebih meyakinkan pelanggan, secarik kertas yang berisi keterangan persetujuan pendaftaran pangan olahan dari BPOM RI untuk produk yang diimpor oleh PT Korinus tersebut terpampang di atas barisan mi instan tersebut. Mi instan Samyang dengan rasa Hot Chicken Ramen dan Cheese Hot Chicken Ramen sejatinya merupakan produk halal karena sudah mengantongi label halal dari Korea Muslim Federation (KMF). Tetapi belum mengantongi sertifikasi halal dari MUI.

Tapi nasi telah menjadi bubur. Skeptis negatif masyarakat akan mi instan yang pernah menjadi 'primadona' mereka telah terbentuk. Secarik kertas yang terpampang nyata, ternyata bukanlah senjata ampuh untuk meluluhkan hati konsumen. Sebetulnya, produk yang ditarik dari peredarannya dari pasaran dan dinyatakan mengandung DNA babi adalah produk dari PT Koin Bumi. Produk-produk tersebut yaitu Samyang dengan nama produk U-Dong, Nongshim dengan nama produk Shin Ramyun Black, Samyang dengan nama produk Mi Instan Rasa Kimchi dan Ottogi dengan nama produk Yeul Ramen.

Agar tak rancu, saya kerucutkan permasalahannya. Yang menjadi masalah bukanlah DNA babinya. Tetapi ditemukannya DNA babi dalam mi instan tersebut, yang mana dalam kemasan mi instan tersebut tidak dicantumkan bahwa 'mengandung babi'. Sekali lagi bukan masalah babinya, tetapi tidak dicantumkannya si babi di dalam kemasan. 

Matai Rantai Panjang Pengawasan

Lalu, apakah ini salah BPOM? Menurut saya, BPOM belum tentu salah. Karena untuk mengeluarkan informasi hasil laboratorium BPOM harus melewati mata rantai panjang. Pengawasan yang dilakukan BPOM meliputi pengawasan pre market dan post market. Pengawasan pre market adalah pengawasan yang dilakukan sebelum produk beredar di masyarakat melalui mekanisme pendaftaran. 

Setelah produk terdaftar, selanjutnya BPOM akan mengaudit mengenai sarana dalam rangka penerbitan rekomendasi. Sedangkan pengawasan post market adalah pemeriksaan sarana produksi dan distribusi serta pengambilan contoh untuk diuji di laboratorium, baik secara kimia maupun mikrobiologi, pengawasan iklan, investigasi dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum. Panjang bukan?

Kasus samyang seharusnya bisa menjadi pelajaran kita bersama, sayang. BPOM belajar bagaimana mengefisienkan pengawasan dan dapat segera memberikan informasi kepada masyarakat luas. Sedangkan khalayak ramai belajar lebih jeli dalam mengkonsumsi informasi yang tersaji. Terlebih di jaman digital seperti saat ini. Menelusuri isu dan menemukan fakta tampaknya menjadi hal yang merepotkan bagi sebagian orang. 

Masyarakat terlalu 'manja' dalam mengolah informasi. Terlebih informasi tersebut telah viral dan menjadi trending topic. Dalam hal ini masyarakat harus berdaya. Tanggung jawab dalam mengawasi obat dan makanan yang beredar di tengah-tengah kita adalah kewajiban kita bersama. Meskipun pemerintah telah membuat sebuah badan yang khusus menangani hal tersebut. Pekerjaan BPOM yang diketahui masyarakat secara awam adalah tukang sidak parsel lebaran.

Kepala BPOM Yogyakarta saat memberikan pernyataan (dokpri)
Kepala BPOM Yogyakarta saat memberikan pernyataan (dokpri)
Dra. I Gusti Ayu Adhi Aryapatni, Apt. selaku Kepala BPOM Yogyakarta dalam kesempatan bertajuk "Sarasehan BBPOM Yogyakarta Bersama Masyarakat Digital Jogja" pada Selasa (11/07/2017) menyampaikan: "Masyarakat kini bisa mengecek produk makanan dan obat-obatan secara mandiri. Bisa melalui website cekbpom.pom.go.id, dan layanan publik lainnya. Hanya dengan cara memasukan nomor registrasi produk yang ingin dicek. Informasi mengenai produk tersebut pun akan segera tersaji". Melalui slogan Cek KLIK (Kemasan, Label, Izin, Kadaluarsa), BPOM mengajak masyarakat bersama-sama mengawasi peredaran obat dan makanan yang ada disekitar mereka.

Apakah nomor registrasi (noreg) memiliki kadaluarsa? Tentu saja punya. "Untuk produk olahan makanan, noreg berlaku selama 5 tahun. Sedangkan untuk kosmetik, jangka waktunya 3 tahun", terang bu Ayu. "Berbeda dengan produk makanan, untuk produk kosmetik, produsen hanya perlu memberikan notifikasi kepada BPOM jika noregnya telah kadaluarsa. Produsen cukup menotifikasi via online", imbuh bu Ayu. Masyarakat akan lebih merasa aman dan tenang serta tidak was-was dalam mengkonsumsi obat dan makanan jika dapat berdaya bersama BPOM. Bersama-sama mengawasi dan handarbeni (merasa memiliki) tanggung jawab pengawasan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun