Mohon tunggu...
dimas aji
dimas aji Mohon Tunggu... Gubernur Mahasiswa FH Universitas Islam Jember

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sarjana Hukum Lahir dari Ruang Sempit, Sebab UI Jember Percaya Keadilan Tumbuh dari Keterbatasan

5 Agustus 2025   17:52 Diperbarui: 5 Agustus 2025   19:44 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan kau duduk di kursi yang goyah, di ruang kuliah yang pengap, menatap papan tulis yang buram, sambil mencoba memahami pasal-pasal tentang keadilan. Di luar, baliho penyambutan mahasiswa baru berkibar megah, sementara di dalam, kau bahkan tak tahu apakah toilet hari ini bisa disiram. Di kampus yang katanya menjunjung nilai-nilai luhur, kau belajar bukan hanya hukum, tapi juga cara bertahan hidup. Dan dari ruang sempit itu, kau dituntut menjadi pembela keadilan.

Di Universitas Islam Jember, mahasiswa hukum belajar di ruang sempit yang lebih mirip gudang daripada ruang intelektual. Kursi patah, papan tulis buram, colokan rebutan, dan udara pengap menjadi teman setia setiap semester. Sementara itu, gedung rektorat berdiri megah, ber-AC, beraroma wangi, dan penuh fasilitas yang tak pernah disentuh mahasiswa. Kampus ini mencetak sarjana hukum dari ruang yang tak layak, seolah keadilan bisa tumbuh dari penderitaan.

Yang terjadi bukan hanya ketimpangan fisik, tapi ketimpangan nilai. Kampus bicara tentang keadilan, tapi tak memberikannya. Brosur kampus penuh warna dan jargon islami, tapi ruang belajar penuh debu dan suara kipas angin rusak. Di sini, keadilan bukan prinsip, tapi poster. Pendidikan bukan proses, tapi formalitas.

Ketidakadilan di kampus ini bukan kecelakaan, tapi warisan budaya. Kurikulumnya begitu monoton, sampai mahasiswa bisa menebak soal ujian bahkan sebelum dosennya bangun dari kursi. Diskusi lebih sering jadi sesi monolog spiritual, dan fasilitas rusak dianggap ujian iman. Ketika mahasiswa mulai bersuara, jawaban sakral pun turun dari langit birokrasi: "Kampus ini swasta le, mau dapet darimana uang?" seolah status swasta adalah jimat sakti untuk menolak perubahan. Padahal uang kuliah mengalir, dana kegiatan dikumpulkan, dan kontribusi mahasiswa tak pernah absen. Yang absen justru transparansi mungkin dia belum isi presensi.

Karena transparansi tak pernah hadir. Tak ada laporan terbuka, tak ada rincian anggaran yang bisa diakses publik. Dana pembangunan lebih sering jadi desas-desus daripada dokumen. Kampus bicara soal akuntabilitas, tapi lupa bahwa kepercayaan tak tumbuh dari ketertutupan. Mahasiswa diminta percaya, tapi tak pernah diberi bukti.

Mahasiswa adalah korban utama dari sistem yang permisif dan birokrasi yang nyaman dalam ketertutupan. Dosen dan pegawai, banyak di antaranya adalah alumni UI Jember sendiri, kini menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka keluhkan. Mereka pernah duduk di kursi yang sama, tapi kini duduk di ruang yang lebih dingin dan lebih diam.

Pertanyaannya sederhana: apakah mereka membawa perubahan, atau justru mewarisi sistem yang dulu mereka keluhkan? Apakah mereka datang sebagai pembebas, atau sebagai penjaga kenyamanan birokrasi? Di kampus ini, nostalgia tak selalu melahirkan perbaikan. Kadang, ia hanya melanggengkan luka.

Di UI Jember, kampus yang katanya menjunjung nilai keislaman dan keadilan. Tapi keadilan tak tumbuh di ruang kuliah yang bocor, dan nilai keislaman tak hidup di toilet yang tak bisa disiram. Di kampus ini, brosur lebih berwarna daripada ruang belajar, dan baliho penyambutan lebih besar daripada ruang diskusi mahasiswa.

Setiap hari. Setiap semester. Setiap kali mahasiswa masuk ruang kuliah dan mendapati fasilitas yang tak berubah. Setiap kali mereka membandingkan diri dengan mahasiswa kampus negeri yang terbiasa berpikir kritis dan berdebat tajam. Ketimpangan ini bukan kejadian, tapi budaya. Ia bukan kesalahan, tapi kebiasaan.

Dengan keberanian. Dengan suara yang tak lagi lirih. Dengan tuntutan yang tak lagi dianggap gangguan. Dengan transparansi anggaran, kurikulum yang menantang, dan fasilitas yang manusiawi. Dengan alumni yang tak hanya kembali sebagai pegawai, tapi sebagai pembawa perubahan. Sebab keadilan tak tumbuh dari marmer rektorat, tapi dari ruang sempit yang berani bersuara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun