Mohon tunggu...
Dara Haspramudilla
Dara Haspramudilla Mohon Tunggu... Administrasi - Pranata Humas Kemenkeu

Pranata Humas Kemenkeu

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Setelah Debat Pilpres 2019: Cerminan Nyata Fenomena Post-Truth di Indonesia

16 April 2019   12:19 Diperbarui: 16 April 2019   12:41 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: liputan6.com

Dalam tulisan ini, saya bukan mau membahas soal adu-aduan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) serta siapa yang memenangkan perdebatan. Saya ingin kita sama-sama belajar untuk memahami fenomena post-truth dari momen jelang pemilihan presiden (pilpres) yang sedang kita lalui.

Apakah sudah ada yang scrolling timeline medsos setelah debat pilpres berakhir? Terlepas dari beberapa perbincangan yang justru banyak membicarakan hal-hal yang sifatnya tidak substantif, kita mungkin bisa perhatikan postingan kolega atau kerabat kita yang sebelum debat berlangsung sudah yakin memutuskan akan memilih kandidat tertentu. Tentunya, kelima debat yang diadakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak akan membuat mereka kemudian berganti haluan.

Debat pilpres sejatinya menjadi ajang pencarian informasi bagi kita para pemilih untuk tahu visi dan misi capres atau cawapres yang berlaga di Pilpres 2019. Namun demikian, saat ini yang terjadi adalah debat menjadi ajang untuk pertama, hanya untuk menguatkan keyakinan sebagian besar pemilih dalam memantapkan pilihannya dan kedua, untuk mencari kesalahan dari informasi atau data yang diberikan capres dan cawapres yang bukan pilihannya.

Begitu kan yang muncul di timeline anda? Jika iya, anda sedang merasakan berada di era post-truth.

Menurut sejarah, debat pemilihan presiden pertama diselenggarakan pada 26 September 1960 di Amerika. Saat itu, John F. Kennedy yang mewakili kubu Demokrat berhadapan dengan Richard Nixon dari kubu Republik. Debat perdana ini disiarkan di televisi dan ditonton oleh 70 juta pemirsa televisi.

Pada hakikatnya, debat pada pemilihan umum memiliki manfaat baik bagi para kandidat maupun bagi calon pemilih. Bagi kandidat, debat menjadi ajang untuk mereka mengutarakan pandangan serta visi dan misinya sehingga dapat membuat pemilih tertarik untuk memilihnya. Bagi para calon pemilih, debat menjadi sarana untuk membuka wawasan dan membentuk preferensi mereka terhadap kandidat yang akan dipilih.

Hal ini senada dengan pernyataan Ketua KPU, Arief Budiman, yang memastikan  bahwa ajang debat pilpres tidak hanya strategis bagi pasangan calon, melainkan juga sebagai referensi masyarakat untuk menentukan pilihannya di bilik suara.

Namun demikian, hal berbeda diutarakan oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago. Ia menilai bahwa debat Pilpres 2019 belum mampu menggeser preferensi pemilih.

Saya sendiri memiliki pendapat yang sama dengan Pangi. Menurut saya, di era post-truth saat ini, debat pilpres tidak akan menjadi referensi bagi individu-individu yang sejak awal sudah memantapkan keyakinannya untuk memilih capres dan cawapres tertentu. Padahal, sejatinya dilihat dari sejarah munculnya debat dalam pemilihan umum adalah sebagai ajang bagi para pemilih mencari referensi bahkan mungkin berpindah haluan ke arah yang lebih baik.

Sementara itu, debat pilpres saat ini mungkin hanya memiliki pengaruh pada swing voters. Saya tekankan pada kata "mungkin". Mengapa? Sebab bisa jadi swing voters pun tidak terpengaruh untuk memilih satu diantara dua kandidat dan malah memutuskan untuk tidak memilih alias golput.

Era post-truth adalah era dimana ketika seorang individu sudah memiliki keyakinan positif akan satu hal, terlepas itu merupakan keyakinan yang salah, tidak akan tergoyahkan keyakinannya. Meskipun datang individu lain memberikan informasi yang sejatinya benar dan cenderung menegasikan keyakinannya. Namun yang terjadi adalah individu pertama bukannya malah mengalihkan keyakinannya namun malah berusaha mencari-cari penguat keyakinannya dengan tujuan melemahkan keyakinan yang baru.

Sederhananya begini, sebagai contoh kita suka banget sama beragam jenis makanan berbahan dasar kambing. Suatu hari, seorang teman kita memberikan informasi bahwa kambing itu dapat meningkatkan kadar kolesterol tubuh yang berujung kematian. Maksud dari teman kita itu adalah memberikan informasi agar kita dapat mengurangi asupan makanan berbahan dasar kambing atau mungkin sama sekali tidak mengonsumsinya. Tujuannya untuk kebaikan kita.

Namun sebagai pecinta makanan berbahan dasar kambing, tentu saja ada kecenderungan kita tidak bisa langsung menerima informasi tersebut. Hal yang kita lakukan adalah justru, pertama mencoba menggali informasi mengenai manfaat-manfaat positif makanan berbahan dasar kambing dan kedua kita berusaha mencari informasi apa makanan favorit teman kita dan lalu mencari tau efek-efek negatif dari makanan tersebut.

Harus kita akui bahwa saat ini fenomena semacam inilah yang sedang terjadi di masyarakat kita dan ini terjadi di kedua kubu pendukung kandidat pilpres 2019. Apakah anda setuju dan merasakannya? Atau malah anda merasa tidak sependapat? Mari berdiskusi secara sehat di kolom komentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun