Mohon tunggu...
Dila AyuArioksa
Dila AyuArioksa Mohon Tunggu... Seniman - Motto Lucidity and Courage

Seni dalam mengetahui, adalah tahu apa yang diabaikan -Rumi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kutemukan Lelaki dengan Kertas Bertulisan "Untuk Biaya Melahirkan" di Jakarta

22 Juni 2020   21:11 Diperbarui: 22 Juni 2020   21:22 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana halte  pagi ini masih sepi. Tak terdengar tapak kaki yang  tergesa-gesa seperti biasanya. Saya melangkah ke naik tangga yang cukup tinggi, hingga sampai ke halte velbak di Kebayoran Lama.  Bulir keringatpun  menetas di permukaan kulit dan membasahi pungungku. 

Setiap langkah kaki ke tangga, saya selalu mengeluarkan helaan napas, karena jantung saya berdetak begitu kencang. Sesampainya diatas Halte saya melewati Seorang pria parubaya berjaket hitam dan masker hitam.  kulitnya sawo matang, rambutnya lurus pendek dan terlihat bersih.  Pandangannya kosong dengan map terbuka bertulisan "untuk biaya melahirkan". 

Awalnya saya ingin melewati nya begitu saja. Namun saya teringat ucapan teman saya beberapa Minggu yang lalu,  bahwa untuk biaya melahirkan di Jakarta itu sekitaran 3 juta-an untuk  normal. Spontan kaki saya memutar kembali kebelakang dan mendekatinya dan memberikan beberapa lembar uang, yang mungkin tidak banyak. 

Saya tidak tahu apakah itu modus penipuan atau apalah. Yang jel Yoas itu baru pertama kali saya melihatnya melamun dan memohon bantuan. Setelah beberapa Minggu saya melewati halte ini sebagai jalur menuju kota.

Jika itu memang benar. Saya membayangkan keadaan begitu rumit dan pahit ini dialaminya sebagai suami. Seharusnya dia sebagai suami sudah menyiapkan biaya untuk menanti kelahiran si buah hati. 

Tapi, apa daya mungkin bisa saja dia  di PHK, atau  tidak ada yang mau meminjamkan nya uang, atau alasan lainnya. Saya sendiri pun tidak tahu alasan pastinya.

Dokprib.dilaayuarioksa
Dokprib.dilaayuarioksa
Hanya minta bantuan  menjadi pilihan terakhir nya. Apa sih yang tidak mungkin di Jakarta ini . Apalagi karena pandemi  semua orang cukup mengalami hal sulit, dalam memenuhi kebutuhan, termasuk biaya yang tak terduga.

Langkah pagi ini memberiku pelajaran bahwa kehidupan tanpa persoalan itu tidak nyata. Namun kenyataanlah yang menyadarkan kita untuk saling memahami.

Meskipun sekilas kita lebih beruntung daripada yang lain. Tapi jangan pernah berhenti untuk bersyukur. Agar raga dan batin kita sebagai manusia bisa mengolah rasa simpati dan empati diri.

Hingga diperjalanan saya masih memikirkan lelaki itu sampai di halte pemberhentian terakhir. Oh Jakarta, terlalu banyak warna dan rasamu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun