Antara Useless Generation Dan Kecanggihan Digital
Belakangan kembali ramai soal istilah useless generation. Istilah ini dimaksudkan untuk golongan usia muda yang secara riwayat pendidikan kategori tinggi namun tidak memiliki pekerjaan. Pun mereka tidak mencoba dunia bisnis dikarenakan iklim persaingan yang tidak selalu pro pada tumbuhnya pebisnis kelas kecil dan di level awal.
Banyak yang menyayangkan kenapa hal itu terjadi. Padahal dilihat dari sisi usia, mereka termasuk usia produktif yang piawai juga dalam otak-atik gawai. Mereka pun tidak bisa jauh dari koneksi digital dalam kesehariannya. Lantas kenapa kemampuan dan kedekatan mereka dengan teknologi ini tidak berkorelasi positif? Sebaliknya justru muncul istilah useless generation.
Sebagaimana diketahui kecanggihan teknologi ibarat dua mata pisau. Di satu sisi ia memberikan kebaikan, di sisi lain membawa pula dampak buruk. Teknologi robot dan digitalisasi misalnya, di satu sisi memang memberikan sensasi efisien. Namun di sisi lainnya ia membuat tergantikannya tenaga manusia. Peluang manusia dipekerjakan semakin sedikit.
Kalaupun ada peluang, maka kualifikasinya sangat tinggi. Dan tentu saja peminatnya banyak, sehingga kompetisi sangat terasa. Hal ini pula yang pada akhirnya menjadi alasan kenapa banyak yang bekerja pada bidang yang berbeda dengan disiplin ilmu yang ditekuninya.
Fenomena semacam ini tentu layak menjadi bahan diskusi mendalam, hingga akhirnya perlu untuk dilakukan kajian kebijakan. Apakah benar arah dari digitalisasi ini dijalankan saat ini? Apakah sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan banyak kalangan saat ini? Sebab mimpi meraih kesejahteraan tidak boleh dibajak oleh munculnya banyak persoalan ditimbulkan.
Jika kemajuan dan perubahan ke arah digital tidak disiapkan dengan matang alias sebatas mengikuti trend global, maka kemungkinan adanya masalah susulan akan terus ada. Sebab keberhasilan digitalisasi sejatinya bukan diukur sebatas kuantitas fisik penggunaan teknologi semata, tapi juga bagaimana imbasnya pada tanah kesejahteraan, rasa sosial, kualitas moral, keamanan data dll.
Selain persoalan pilihan kebijakan, persoalan useless generation juga perlu diselesaikan dengan pematangan kualitas generasi itu sendiri. Mereka dididik dan dipersiapkan di dunia pendidikan bukan sebatas diarahkan untuk siap menempati peluang di bursa kerja. Sebab jika orientasinya sebatas kerja, maka tujuan akhirnya sulit keluar dari sirkel harta dan harta. Imbasnya tentu membuat orang fokus dapat materi, tidak cinta ilmu dan kemajuan, tidak senang ilmu, dan ujungnya minim karya dan inovasi.
Lebih dari ini, generasi selayaknya dikondisikan agar bisa menjadi tenaga ahli. Ahli yang paham teknologi sekaligus ahli yang menguasai pengetahuan. Syukur jika disertai landasan agama yang baik, sebagaimana di masa keemasan pendidikan Islam.Â
Di masa kekhilafan Islam, terutama bani Abbasiyah output pendidikan begitu luar biasa. Di masa itu orientasi pelajar bukan kerja jika lulus, tapi bisa berkontribusi terbaik untuk orang banyak. Mereka jadi berlomba-lomba menemukan sesuatu yang bermanfaat, jadi rajin menggali ilmu yang mengantarkan pada tujuan tersebut, hingga akhirnya lahirlah temuan dan inovasi yang benar-benar cemerlang. Tak hanya dipakai di kalangan mereka kala itu, tapi masih tetap dipakai dan dikembangkan hingga dunia modern saat ini.