Di tengah krisis kemanusiaan yang kian memburuk di Jalur Gaza, sebuah langkah berani diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Washington menjatuhkan sanksi terhadap Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB yang membidangi hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki. Keputusan ini datang usai Albanese secara terang-terangan menuduh Israel melakukan "kampanye genosida" di Gaza, menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen AS terhadap keadilan dan perdamaian di kawasan tersebut.
Ketika Kebenaran Justru Berujung Sanksi
Francesca Albanese, seorang pengacara dan akademisi hukum internasional asal Italia, telah menjadi suara lantang yang tak berani membuka fakta-fakta kelam di Gaza. Perannya sebagai Pelapor Khusus PBB memberinya kuasa untuk melaporkan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah pendudukan Palestina. Dalam beberapa laporannya, Albanese secara konsisten menyoroti dampak mengerikan dari operasi militer Israel terhadap warga sipil, bahkan hingga menggunakan istilah "genosida", sebuah tuduhan yang sangat serius di mata hukum internasional.
Seperti diberitakan oleh The Guardian, sanksi AS terhadap Albanese dijatuhkan pada Rabu, 9 Juli 2025. Alasan di balik sanksi tersebut, menurut Washington, terkait dengan "tindakan yang merusak upaya perdamaian" dan "penyebaran narasi anti-Israel." Namun, kritik internasional segera bermunculan, menyebut sanksi ini sebagai bentuk upaya untuk membungkam suara-suara kritis terhadap Israel dan menghambat bentuk laporan yang independen tentang situasi di Gaza.
Ironi Perdamaian di Tengah Pembungkaman
Langkah AS yang menjatuhkan sanksi terhadap Albanese menjadi ironi yang memilukan terhadap banyak pihak yang mendambakan perdamaian. Di satu sisi, Amerika Serikat seringkali memposisikan diri sebagai mediator utama dan arsitek perdamaian di Timur Tengah. Namun, di sisi lain, tindakan seperti memberi sanksi pada seorang pejabat PBB yang melaporkan dugaan pelanggaran HAM berat justru memberi kesan bahwa Washington lebih berpihak pada satu sisi konflik, bahkan jika itu berarti membungkam kebenaran yang tidak menyenangkan.
Melansir dari analisis Foreign Policy, kebijakan AS yang condong melindungi Israel dari kritik internasional, termasuk di forum PBB, telah lama menjadi penghalang utama bagi solusi dua negara yang adil. Dengan memberi sanksi kepada individu yang berani menyebut kejahatan perang atau genosida -- meskipun klaim ini memerlukan validasi oleh lembaga hukum internasional -- AS seolah mengirim pesan bahwa pelaporan yang jujur tentang kejahatan kemanusiaan di Gaza adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
Amerika: Penghalang atau Penjamin Perdamaian?
Pada akhirnya, tindakan AS terhadap Francesca Albanese ini mengukuhkan persepsi bahwa Washington secara konsisten menghalangi terciptanya kedamaian permanen di Gaza. Perdamaian yang berkelanjutan hanya dapat dibangun di atas fondasi keadilan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ketika sebuah negara adidaya memberi sanksi kepada mereka yang berupaya menyoroti penderitaan dan menyerukan pertanggungjawaban, itu bukan hanya membungkam satu suara, tetapi juga merusak harapan akan keadilan bagi jutaan orang.
Jika Amerika Serikat benar-benar menginginkan perdamaian, maka harus berhenti menekan dan menghukum mereka yang berani menyuarakan kebenaran. Sebaliknya, Washington harus mendukung penuh penyelidikan independen, menuntut akuntabilitas dari semua pihak yang terlibat dalam pelanggaran, dan mendorong solusi politik yang adil yang menghormati hak-hak semua warga Palestina. Hanya dengan begitu, AS bisa benar-benar disebut sebagai penjamin perdamaian, bukan penghalang.