Mohon tunggu...
Dikri Muhammadi
Dikri Muhammadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Positif

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Harapan itu Bernama Garuda Jaya

12 Januari 2014   15:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:54 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13895210761551660097

[caption id="attachment_315384" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Tahun 2013 lalu rakyat Indonesia disuguhkan kegembiraan luar biasa oleh Timnas U-19 (Garuda Jaya). Seperti kita tahu, anak-anak asuhan Indra Sjafri itu baru saja menggondol mahkota raja Asia Tenggara dengan mengalahkan Vietnam di babak final. Meski dalam kategori junior, tetap saja trophy AFF menjadi oase di tengah puasa gelar bergengsi selama lebih dari 20 tahun.  Tak lama setelah menjadi raja ASEAN, Evan Dimas dan kawan-kawan kembali membuat masyarakat Indonesia terkagum-kagum setelah memastikan diri melangkah ke putaran final kejuaraan yang lebih besar yakni Piala Asia 2014 di Myanmar.

Yang mengagumkan adalah kepastian itu diraih dengan nilai sempurna sembilan poin dari tiga kali main. Membenamkan Laos empat gol tanpa balas, mengurung Filipina sepanjang pertandingan dan menang dua gol tak berbalas. Serta pada pertandingan terakhir, permanan Maldini Cs makin menggila, mereka gebuk juara bertahan dan juara 12 kali Korea Selatan tiga berbalas dua lewat hattrick sang kapten, Evan Dimas Darmono.  Menjadi jawara Grup G, Garuda Jaya mengangkangi juara bertahan Korea selatan untuk melenggang mulus ke putaran final Piala Asia 2014 di Myanmar.

Permainan Garuda Jaya sangat mengagumkan, melebihi seniornya sendiri yang masih saja bersahabat dengan kekalahan. Bisa dibilang permainan Garuda Jaya adalah permainan terhebat yang pernah ditunjukan Timnas selain permainan Ellie Eiboy, Budi Sudarsono, dan kawan-kawan ketika berlaga di Piala Asia 2007. Dengan formasi 4-3-3 Garuda muda memainkan possession football dikombinasikan  dengan kecepatan para penyerang sayap. Sang pelatih Indra Sjafri menuturkan permainan anak asuhnya tidak mau berkiblat ke Eropa atau Amerika Latin. Pria berkumis itu ingin anak-anak didiknya itu memainkan sepak bola sesuai karakter bangsa ini atau memiliki khasnya sendiri.

Lebih lanjut pria asal Padang ini menyebut permainan Muklis dan kawan-kawan dengan istilah pepepa atau pendek pendek panjang. Indonesia yang bepostur kecil memang lebih cocok bermain cepat dari kaki ke kaki ketimbang direct ball langsung dari garis pertahanan ke striker di depan. Kalau umpannya tepat sasaran sih ya tidak apa-apa tapi lah ini umpannya ngawur tapi masih saja diulang kembali. Jika tidak percaya coba tengok bagaimana cara main timnas senior ketika berlaga di kualifikasi Asia Cup 2015.

Mengandalkan bola-bola atas,  karena mungkin mereka berpikir  umpan mereka sehebat Beckham atau Pirlo. Atau mungkin yang terlihat di mata mereka, kawannya di depan sana berpostur seperti Crouch, Koller, atau Lewandowski. Bisa jadi juga ini strategi untuk meminimalisir pengeluaran tenaga dan stamina, tapi kalau buang-buang kesempatan seperti itu bukannya menguntungkan lawan dan memberikan bola begitu saja kepada lawan? Ketika lawan dengan mudah menguasai bola, terus menekan, dan memaksa Indonesia terus-terusan bertahan, itu bukannya lebih capek? Selain itu coba perhatikan dari segi pressing, bagaimana perbedaan pressing yang dilakukan Garuda Muda dengan senior.

Jika sang senior terlihat menumpuk pemain di daerah sendiri , memberikan waktu kepada lawan untuk berpikir akan dikemanakan bolanya, minder, merasa lebih lemah, merasa beda kualitas, sang junior justru terlihat sangat percaya diri sekalipun yang dihadapi adalah juara bertahan. Bola masih ada di kaki bek lawan, Evan Dimas Cs sudah menekan, menutup ruang , tak biarkan pemain lawan berpikir, sesuai dengan permainan kontemporer (masa kini) yang sering ditunjukan klub-klub eropa. Sudah impor “senjata” bernama Greg dan Victor yang “katanya” punya kemampuan di atas pemain-pemain lokal, toh masih saja Timnas Senior jadi bulan-bulanan dan dianggap sebelah mata oleh Negara lain. Bermain tanpa skema yang jelas seakan-akan tidak pernah latihan.

Ah... Sudahlah, mari kita fokus mengenai harapan sepak bola Indonesia di masa depan. Mari kita fokus kepada Garuda Jaya.

Bagi penikmat sepakbola, melihat trio gelandang Garuda Jaya berkreasi seperti melihat mereka melukis di atas kanvas rumput hijau. Evan Dimas, Hargianto, dan Zulfandi menjadi seakan bagai sebuah orkestra yang terus melantukan keindahan sepak bola dari kaki ke kaki selama 90 menit bahkan lebih. Sayap-sayap Garuda muda begitu cepat, lincah dengan liukan-liukan berteknik tinggi yang merepotkan lawan. Mereka menyisir sisi sayap memanfaatkan lebar lapangan yang diakhiri dengan tusukan-tusukan ke jantung pertahanan lawan yang tak jarang berujung pada gol untuk skuad merah putih.

Di jantung pertahanan, Garuda muda mengandalkan kuartet Syahrul, Hansamu, Putu, dan Faturahman.  Syahrul yang berkarakter lugas dan cepat dipadu dengan Hansamu yang berpostur tinggi  andal dalam bola-bola atas menjadikan duet bek tengah ini bagaikan batu karang yang kokoh menghadapi gelombang serangan lawan. Di sisi kiri pertahanan, Faturahman begitu rajin naik ke depan membantu Ilham Udin mengeksploitasi sisi kanan pertahanan lawan. Ketika lawan balik menyerang, ia begitu disiplin turun menutup ruang.

Di sisi kanan, Putu terlihat begitu tenang ketika memegang bola atau menghadang pergerakan lawan. Meski tidak seagresif Faturahman di sisi kiri, ketenangan Putu dan karakternya yang lebih bertahan membuat  ia masih dipercaya oleh sang arsitek, Indra Sjafri. Kuartet inilah yang menjadi palang pintu terakhir sebelum lawan berhadapan langsung dengan penjaga gawang Garuda Jaya, Ravi Murdianto. Dengan postur 186 cm, Ravi menjadi kiper ideal di bawah mistar karena dengan tingginya yang menjulang itu ia kerap kali mampu mematahkan umpan-umpan yang datang mengancam. Meski dalam satu lawan satu dengan lawan ia masih butuh banyak belajar, tetapi refleks dan kemampuannya menutup ruang serta membaca arah bola sering kali membuat lawan-lawannya gigit jari. Mengenai Ravi, satu yang tak boleh terlupakan adalah kepiawaiannya menggagalkan pinalti lawan. Seperti yang ia lakukan dalam final AFF Cup 2013 melawan Vietnam yang menjadikannya sebagai pahlawan.

Terlepas dari itu semua, pertanyaan mendasarnya adalah apakah ada nama-nama asing di dalam skuad Garuda Jaya? Apakah perlu Indra Sjafri memainkan nama-nama yang “bukan nama Indonesia” semisal Sergio atau Nwokolo untuk menang? Saya rasa semua sepakat untuk mengatakan tidak. Seperti yang sudah sering sekali saya katakan di beberapa tulisan sebelumnya bahwa negeri ini bukannya tidak punya pemain bagus, bukannya tidak punya pemain berkelas untuk bicara banyak di kancah sepak bola international, tetapi lebih kepada bagaimana cara main, bagaimana cara “memanage” sebuah tim menjadi tim yang baik. Ketika PSSI sibuk mencari pemain-pemain keterunan Indonesia yang ada di luar negeri untuk dinaturalisasi, Indra Sjafri justru blusukan dari satu pelosok ke pelosok tanah air karena ia percaya Indonesia punya pemain berkelas yang mampu menjadikan Indonesia kembali menjadi raksasa Asia bahkan dunia.

Kini pecinta sepak bola tanah air menaruh harapan besar di pundak Evan Dimas dan kawan-kawan. Harapan untuk membawa ibu pertiwi harum namanya, membawa sang Garuda terbang tinggi di kancah sepak bola dunia. Bukannya tidak lagi mendukung perjuangan Boaz Cs di timnas senior, tetapi publik kini lebih realistis. Publik seakan dibuat move on dari timnas senior yang tak kunjung juga memberi kebahagiaan. Karena bukan tidak mungkin Evan Dimas Cs mampu tampil di putaran final World Cup 2015.

Sebelum itu, anak asuh Indra Sjafri harus terlebih dahulu berjuang di Asian Cup U-19 di Myanmar bulan Oktober tahun ini. Target mencapai semi final disematkan kepada Garuda Jaya di kejuaraan tersebut. Empat tim terbaik di Asian Cup 2014 ini akan langsung lolos secara otomatis mewakili benua Asia di World Cup 2015 tahun depan. Oleh karena itu diharapkan Garuda Jaya mampu menembus semi final agar lolos otomatis ke Piala Dunia U-20 atau bahkan mampu pulang sebagai kampiun.

Masyarakat Indonesia memang bersifat multikultural atau memiliki keberagaman budaya, suku, atau agama. Tetapi kita punya semboyan Bhineka Tunggal Ika yang mengandung makna meski kita berbeda-beda tetapi kita tetap satu. Ya tepat sekali walaupun masyarakat Indonesia berbeda-beda, tetapi harapannya tetap satu. Harapan itu adalah melihat timnas kita meraih trophy juara dan membawanya ke tanah air. Karena tentu kita ingin trophy bergengsi seperti trophy Piala Asia atau bahkan Trophy Piala dunia mampir ke Indonesia bukan hanya sekedar kepentingan iklan untuk tujuan komersial saja, melainkan karena Trophy itu memang milik kita, milik bangsa Indonesia.

Untuk mewujudkan harapan tersebut, pilihan yang paling rasional adalah timnas U-19. PSSI harus tahu betul apa yang harus dilakukan terhadap generasi emas sepak bola kita tersebut. Tidak boleh lagi hanya mencari laba dan mempolitisasi timnas. Memprioritaskan, mendukung penuh, serta menjaga Evan Dimas dan kawan-kawan wajib kita semua lakukan, baik PSSI sebagai stakeholder maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Mengapa? Karena harapan kita semua ada di pundak mereka. Karena harapan itu bernama Garuda Jaya.

Penulis:

@dikrimuhammadi

dikrimuhammadi.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun