Akhir-akhir ini, linimasa media sosial saya dipenuhi oleh video-video parodi buatan AI yang memerankan sosok pejabat publik atau abdi negara. Tidak sekadar lucu, tapi juga menohok. Sebuah ironi digital yang justru terasa lebih jujur dari realitas itu sendiri.
Bayangkan, ada video AI yang menampilkan sosok "pejabat" sedang berbicara blak-blakan:
> "Kami tilang bukan karena pelanggaran, tapi karena target setoran. Terima kasih telah mendanai liburan kami."
Tentu itu bukan pernyataan asli, melainkan hasil manipulasi audio dan visual dari teknologi deepfake dan voice cloning. Tapi saking relevannya dengan pengalaman rakyat kecil di jalan, banyak yang justru mengomentari, "Wah, baru kali ini pejabat ngomong jujur."
Video semacam ini berkembang luas. Ada yang tampil sebagai meme AI, ada pula yang dalam bentuk animasi satir. Isinya hampir sama: menyoroti korupsi kecil-kecilan, pemerasan jalanan, hingga gaya hidup mewah yang tak selaras dengan gaji.
Ekspresi Kekecewaan yang Tak Lagi Tertahan
Perlu dipahami, masyarakat membuat parodi ini bukan tanpa alasan. Ini adalah bentuk ekspresi kekecewaan yang sudah terlalu lama dipendam. Ketika para oknum itu dibiarkan melakukan kezaliman---mulai dari pungli, pemerasan, sampai penyalahgunaan wewenang---masyarakat merasa tak punya lagi tempat aman untuk mengadu.
Sungguh ironis, tempat-tempat yang seharusnya menjadi saluran pengaduan justru dipenuhi oleh para oknum itu sendiri.
Lantas, kepada siapa rakyat harus melapor?
Akhirnya, kreativitaslah yang jadi pelampiasan. AI pun dijadikan corong---sebuah bentuk kritik sosial yang dibungkus dalam humor pahit.