Kementerian Kesehatan kembali menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang kewaspadaan terhadap peningkatan kasus COVID-19. SE Nomor SR.03.01/C/1422/2025 ini ditetapkan pada 23 Mei dan dipublikasikan di situs Kemenkes pada 28 Mei 2025. Isinya meminta seluruh pihak untuk meningkatkan surveilans, menyiapkan fasilitas kesehatan, serta mengedukasi masyarakat.
Langkah ini tentu bertujuan baik: mencegah lonjakan kasus. Tapi bagi sebagian masyarakat, peringatan ini justru membangkitkan kekhawatiran: jangan-jangan kita akan kembali menghadapi putaran baru dari vaksinasi massal, pembatasan sosial, dan tekanan ekonomi.
Antisipasi atau Awal dari "Putaran Baru"?
Pengalaman pahit masa pandemi membuat masyarakat lebih waspada, bahkan curiga. Kalau ini hanya soal imbauan kesehatan, tentu tak masalah. Tapi bagaimana jika ini awal dari lockdown lagi? Apakah vaksinasi ulang akan diwajibkan?
Sebagian masyarakat mulai bersuara: kalau lockdown memang harus dilakukan, pemerintah jangan lepas tangan seperti dulu. Ada harga yang harus dibayar masyarakat ketika mobilitas dibatasi --- dan negara harus hadir menanggung sebagian beban itu. Bantuan sosial, insentif UMKM, dan subsidi harus nyata, bukan hanya janji di televisi.
Ingat, Keuangan Negara Sudah Defisit
Pemerintah juga harus berhitung secara cermat. Saat ini APBN sudah mengalami tekanan berat dan defisit cukup dalam. Jangan sampai karena panik menghadapi COVID-19, kita kembali menggelontorkan anggaran besar tanpa strategi jangka panjang dan kontrol yang ketat.
Tahun-tahun sebelumnya, pandemi membuat utang negara naik drastis. Banyak proyek strategis tertunda. Kalau kebijakan darurat seperti lockdown atau vaksinasi massal kembali digelar tanpa pertimbangan fiskal yang matang, bukan tidak mungkin kita akan menghadapi defisit yang lebih dalam.
Rakyat sudah cukup lelah. Negara juga tidak dalam posisi keuangan yang mewah. Karena itu, penanganan COVID-19 harus rasional, berbasis data, dan mempertimbangkan kapasitas fiskal negara. Jangan gegabah.
Vaksin: Hak, Bukan Paksaan