Nurani yang Tertinggal di Perbatasan Rafah
Oleh Dikdik Sadikin
ADA yang ganjil dalam logika kemanusiaan hari ini. Ketika anak-anak di Gaza makan dari sisa reruntuhan, ketika perempuan melahirkan dalam tenda tanpa lampu, dan ketika rumah sakit hanya berdinding tenda dan doa, justru saat itulah ratusan kontainer makanan segar melintasi padang pasir menuju Tel Aviv. Bukan untuk para pengungsi Palestina. Tapi untuk penjajahnya.
Dalam perang yang kabur antara agama dan dagang, antara nurani dan diplomasi, kita menemukan satu berita yang terasa tak masuk akal: Uni Emirat Arab disebut mengirim ratusan kontainer berisi bahan pangan segar ke Israel. Tak hanya itu, Saudi Arabia membuka jalur darat, dan Yordania membentangkan jalan masuk, agar kontainer-kontainer itu bisa melaju tanpa hambatan ke jantung negeri yang dituduh sebagai pelaku genosida.
Israel, menurut data Euro-Med Human Rights Monitor (2024), telah menjatuhkan lebih dari 50.000 ton bom ke Gaza dalam enam bulan terakhir. Lebih dari 35.000 jiwa tewas, 70% di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Namun yang tiba kepada mereka bukan air, bukan susu, bukan gandum---melainkan pengepungan, syarat izin, dan kabar bahwa tetangga Muslimnya sedang berdagang dengan si pengepung.
***
Di tengah catatan sejarah Timur Tengah yang panjang dan berdarah, perang bukan lagi soal peluru dan tank. Ia kini soal izin masuk, soal bea cukai, soal siapa yang membayar lebih. Di perbatasan Rafah, ribuan kontainer bantuan untuk Gaza tertahan. Mesir, negara yang seharusnya menjadi corong kemanusiaan, justru menutup gerbangnya rapat-rapat. Mereka yang ingin menyeberang---bahkan untuk berobat atau sekadar mendekat ke Masjid Al-Aqsa---konon harus membayar hingga USD 5.000 per kepala.
Tak ada tanda bahwa Israel yang menghalangi. Yang menghalangi adalah sesama. Atau tepatnya, pemerintah dari sesama.
Lalu, Gaza menjadi pasar. Bukan karena ada uang. Tapi karena kelaparan bisa dikomodifikasi. "Bantuan" berubah menjadi "transaksi." Makanan, seperti senjata, punya harga. Dan di sinilah politik berhenti menjadi seni kemungkinan, dan berubah menjadi seni pengkhianatan.
***
Lalu di mana letak ukhuwah? Di mana persaudaraan Islam saat saudara kita dicegah dari air, makanan, dan jalan hidup?