Di IMLF 3, Malaysia-Indonesia : Serumpun Bersaudara
Oleh Dikdik Sadikin
"Dan kita pun bersaudara dalam luka yang sama."
--- Chairil Anwar
DI PENTAS DUNIA MAYA, suara bisa berubah jadi peluru. Kata menjadi sabit. Tak jarang, mereka yang seharusnya bersaudara justru saling menyayat---oleh ejaan yang dipersengketakan, sejarah yang dipertengkarkan, dan budaya yang diperebutkan.
Namun kadang, di luar layar dan algoritma, di bumi yang kita jejak, kita menemukan nyanyian yang lebih lirih, tapi justru lebih jujur. Lebih tulus.
Dan IMLF ke-3 di Sumatera Barat menjadi nyanyian itu.
Dari sekitar dua ratus peserta yang datang dari 24 negara, seratus peserta di antaranya adalah delegasi Malaysia, datang ke Padang yang berlanjut ke Bukittinggi, Indonesia.
Tak ada perdebatan tentang siapa yang punya batik atau pantun. Yang hadir adalah tawa yang menjembatani, bahasa yang menenangkan, dan silsilah yang saling berkelindan. Beberapa membawa darah silang---ayah dari Melaka, ibu dari Bukittinggi; nenek tinggal di Johor, cucu menulis puisi di Payakumbuh. Seperti akar yang merambat diam-diam, hubungan dua bangsa ini bukan semata sejarah, melainkan rahim dan rumah.
Di satu malam di sesi IMLF 3, musik Melayu dimainkan. Bukan lagu kebangsaan. Hanya irama yang memanggil tubuh untuk bergoyang pelan, lalu larut. Peserta dari Indonesia dan Malaysia, bahkan dari Brunei, Singapura, Prancis, Jepang, Australia, India, Turkistan, Bangladesh, Rusia dan negara-negara lain, menari dalam lingkar yang tak lagi memisahkan paspor dan asal. Tak ada yang bertanya siapa dari mana. Tak ada yang mewakili siapa-siapa. Hanya rentak, dan tawa, dan langkah-langkah yang mencari sajak di lantai aula.
Barangkali di sanalah kita temukan satu harapan kecil: bahwa persaudaraan tidak selalu perlu dirumuskan. Ia cukup ditarikan. Karena tubuh sering lebih jujur dari pidato. Dan tari lebih pandai menyatukan dibandingkan debat panjang tentang siapa pemilik budaya yang sah.
Seseorang berseru dalam dialek Melayu, "Kita ni sama, cuma dipisahkan oleh laut dan gelegak politik." Seorang penyair dari Malaysia mengutip Usman Awang: "Serumpun bak serai, sehimpun bak serai, selerak busuklah ia." Di sela puisi, kita tak saling meninggi, tapi saling merunduk. Dalam kesenyapan yang lembut, mereka mendengarkan satu sama lain. Bukan untuk menang, tapi untuk mengerti.
Festival ini menjadi semacam surau kecil bagi kata-kata yang bersujud. Di IMLF 3, mereka datang bukan sebagai utusan negara, melainkan sebagai anak dari tanah yang sama: tumbuh bersama angin khatulistiwa, menyebut matahari dengan bahasa yang sama, dan menuliskannya dalam puisi yang tak mengenal batas.