Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Malaysia-Indonesia di IMLF 3: Serumpun Bersaudara

19 Mei 2025   07:29 Diperbarui: 19 Mei 2025   10:52 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian peserta IMLF 3 Sumbar, dari beberapa negara, delegasi terbesar dari Malaysia. (Sumber: Dokumen Panitia)

Di IMLF 3, Malaysia-Indonesia : Serumpun Bersaudara

Oleh Dikdik Sadikin

"Dan kita pun bersaudara dalam luka yang sama."
--- Chairil Anwar

DI PENTAS DUNIA MAYA, suara bisa berubah jadi peluru. Kata menjadi sabit. Tak jarang, mereka yang seharusnya bersaudara justru saling menyayat---oleh ejaan yang dipersengketakan, sejarah yang dipertengkarkan, dan budaya yang diperebutkan.

Namun kadang, di luar layar dan algoritma, di bumi yang kita jejak, kita menemukan nyanyian yang lebih lirih, tapi justru lebih jujur. Lebih tulus.

Dan IMLF ke-3 di Sumatera Barat menjadi nyanyian itu.

Dari sekitar dua ratus peserta yang datang dari 24 negara, seratus peserta di antaranya adalah delegasi Malaysia, datang ke Padang yang berlanjut ke Bukittinggi, Indonesia.

Tak ada perdebatan tentang siapa yang punya batik atau pantun. Yang hadir adalah tawa yang menjembatani, bahasa yang menenangkan, dan silsilah yang saling berkelindan. Beberapa membawa darah silang---ayah dari Melaka, ibu dari Bukittinggi; nenek tinggal di Johor, cucu menulis puisi di Payakumbuh. Seperti akar yang merambat diam-diam, hubungan dua bangsa ini bukan semata sejarah, melainkan rahim dan rumah.

Di satu malam di sesi IMLF 3, musik Melayu dimainkan. Bukan lagu kebangsaan. Hanya irama yang memanggil tubuh untuk bergoyang pelan, lalu larut. Peserta dari Indonesia dan Malaysia, bahkan dari Brunei, Singapura, Prancis, Jepang, Australia, India, Turkistan, Bangladesh, Rusia dan negara-negara lain, menari dalam lingkar yang tak lagi memisahkan paspor dan asal. Tak ada yang bertanya siapa dari mana. Tak ada yang mewakili siapa-siapa. Hanya rentak, dan tawa, dan langkah-langkah yang mencari sajak di lantai aula.

Barangkali di sanalah kita temukan satu harapan kecil: bahwa persaudaraan tidak selalu perlu dirumuskan. Ia cukup ditarikan. Karena tubuh sering lebih jujur dari pidato. Dan tari lebih pandai menyatukan dibandingkan debat panjang tentang siapa pemilik budaya yang sah.

Seseorang berseru dalam dialek Melayu, "Kita ni sama, cuma dipisahkan oleh laut dan gelegak politik." Seorang penyair dari Malaysia mengutip Usman Awang: "Serumpun bak serai, sehimpun bak serai, selerak busuklah ia." Di sela puisi, kita tak saling meninggi, tapi saling merunduk. Dalam kesenyapan yang lembut, mereka mendengarkan satu sama lain. Bukan untuk menang, tapi untuk mengerti.

Festival ini menjadi semacam surau kecil bagi kata-kata yang bersujud. Di IMLF 3, mereka datang bukan sebagai utusan negara, melainkan sebagai anak dari tanah yang sama: tumbuh bersama angin khatulistiwa, menyebut matahari dengan bahasa yang sama, dan menuliskannya dalam puisi yang tak mengenal batas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun