Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Jejak Penjajah dalam Secangkir Kopi

16 Mei 2025   16:57 Diperbarui: 16 Mei 2025   17:03 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jejak Penjajah dalam Secangkir Kopi

Oleh Dikdik Sadikin

AHAD siang, 11 Mei 2025. Di pelataran Balai Kota Bukittinggi, sekitar dua ratus peserta International Minangkabau Literacy Festival ke-3 dari 24 negara berkumpul. Di sela rehat makan siang, panitia menyajikan aneka kuliner khas Minangkabau. Tapi ada satu yang tak biasa: Kawa Daun. Ia diseduh dari daun, bukan biji kopi. Dan Kawa daun, atau kopi daun, dari daerah Minangkabau ini punya kisah, bukan sekadar rasa.

"Ini warisan masa penjajahan," ujar Leksi Hedrifa, Kepala UPT Perpustakaan Proklamator Bung Hatta, sembari tersenyum. Sebuah senyum yang menyimpan getir. Sebab seduhan kopi ini berawal dari penderitaan rakyat Indonesia yang dijajah di masa kolonial, sebelum kemerdekaan 1945. 

Kopi dalam bentuk biji adalah barang rampasan penjajah. Diangkut ke kapal, ke Eropa, ke cangkir-cangkir tuan tanah. Tak ada biji-biji kopi yang tersisa bagi rakyat pemilik asli kedaulatan tanah tempat "mutiara hitam" itu tumbuh subur. Rakyat hanya bisa menatap kebun yang ditanam dengan tangannya sendiri, tapi tak bisa mencicipi buah bijinya.

Maka daun pun diseduh. Dari yang tersisa, mereka meracik rasa. Seakan berkata: jika tak dapat tubuhnya, kami rebus bayangannya.

Sejarah, memang, kerap lahir dari keterbatasan. Selain kopi daun, sejarah yang mirip pun melahirkan Kopi Luwak. 

Luwak, seekor binatang kecil yang tak pernah dijajah dan tak pernah menjajah, justru menjadi jembatan: ia memakan buah kopi dan dari kotorannya ada biji-biji kopi yang tersembunyi. Dari kotoran binatang itulah rakyat mengais keberuntungan. Membersihkan biji-biji kopi dari kotoran luwak, mengeringkannya, lalu menyeduhnya. Dan dunia kini mengenal Kopi Luwak sebagai kopi termahal di dunia. Bahkan binatang luwak sengaja diternak untuk proses menghasilkan biji-biji kopi itu.

Ironi kerap berbicara lebih nyaring dari pidato. Dari daun kopi dan dari kotoran yang tersisa, lahir warisan. Dari keterampasan, tumbuh kekayaan. Luwak yang tak pernah ikut rapat revolusi, justru ikut menyumbang catatan sejarah kopi. Maka, tak semua ingatan harus manis untuk bisa dikenang. Warisan dari masa pahit penjajahan, seperti kopi tanpa gula, justru indah pada akhirnya.

Kopi-kopi itu adalah pengingat bahwa dalam setiap tegukan Kawa Daun atau pun Kopi Luwak, tersimpan jejak perlawanan yang harum. Dan dua-duanya kini bisa Anda nikmati, tentu saja, tanpa harus dijajah terlebih dahulu.

Bogor, 16 Mei 2025

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun