Senja di Bogor: Ketika Ngabuburit Menjadi Ruang Kebersamaan
Oleh Dikdik Sadikin
Ngabuburit bukan sekadar kebiasaan, tetapi cara untuk menemukan diri di antara kebersamaan dan ketenangan. Di jalanan Bogor yang berliku dan di bawah langit senja yang temaram, ngabuburit selalu menyisakan ruang untuk refleksi dan makna.
PERJALANAN SENJA selalu terasa lebih panjang saat menunggu adzan maghrib. Waktu seolah melambat, terperangkap di antara cahaya jingga dan bayangan senja yang enggan pergi. Di tengah waktu yang menggantung itu, orang-orang mencari pelarian: ngabuburit, kata orang Sunda.
"Ngabuburit" berasal dari kata dasar "burit", yang dalam bahasa Sunda berarti "waktu sore", menjelang maghrib. Kata ini kemudian mendapat imbuhan "nga" di awal yang dalam kaidah bahasa Sunda membentuk makna melakukan sesuatu di waktu sore, juga dengan mengulang kata "bu" sebagai bentuk jamak, yang pengulangan itu berarti kegiatan ini biasanya tidak sendirian.Â
Ngabuburit pada awalnya digunakan untuk menggambarkan kebiasaan orang Sunda menunggu waktu berbuka puasa dengan melakukan aktivitas ringan di sore hari. Lama-kelamaan, istilah ini meluas dan menjadi bagian dari tradisi Ramadan di berbagai daerah di Indonesia --- termasuk di Bogor, kota hujan yang selalu menyimpan cerita di setiap senja Ramadan.
Senja di Kota Hujan
Senja di Kampung Cibalagung, Bogor, selalu ramai. Jalanan berliku yang biasa sepi berubah menjadi pasar kecil dadakan. Di sepanjang Jalan Lawang Gintung, tukang gorengan berteriak menawarkan tahu isi dan bala-bala. Aroma pisang goreng bercampur dengan wangi kopi tubruk dari warung Pak Ujang di dekat belokan Gang Mawar. Di sudut Masjid Al-Huda, suara anak-anak mengaji terdengar samar, menyusup di antara hiruk-pikuk tawa dan teriakan para penjual.
"Kang, bala-balanya satu bungkus!"Â teriak seorang bocah laki-laki sambil berlari-lari kecil. Namanya Iman, umur delapan tahun, dengan rambut cepak dan baju kaus bergambar tokoh kartun yang warnanya sudah pudar.
"Iman, udah mandi belum?" tanya Bu Neneng, pemilik warung kopi di samping lapak gorengan.
"Udah, Bu! Tapi keringetan lagi!" jawab Iman sambil nyengir, menyeka keringat dengan punggung tangannya.
Di seberang jalan, Pak Rahmat duduk di bangku kayu tua di tepi trotoar Jalan Pajajaran, di bawah pohon beringin besar. Tangannya sibuk merapikan tasbih. Sudah lama ia menghabiskan waktu ngabuburit di tempat itu, sejak istrinya meninggal tiga tahun lalu. Ia datang bukan untuk berbelanja atau berburu takjil, tapi untuk berbincang dengan siapa saja yang lewat.