Mohon tunggu...
Wardatul 'Uyun
Wardatul 'Uyun Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hijab Stylist at: http://www.youtube.com/TheHasanVideo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Newton Dan Einstein Autis: Saatnya Membuka Mata!

9 Juni 2012   10:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:12 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13392371211708009317

Menggali ingatan masa kecilku, pertamakali lobus occipital otak belakang merekam kata autis adalah ketika ku baca ulasan lengkapnya di majalah digest Intisari sekitar tahun 90-an. Saat melahap lembarannya, seperti biasa aku bertengger manis di pohon Jambu halaman belakang dengan pemandangan hijau padi yang luas terhampar indah. Such a beautiful piece of my best ever moment to contemplate, indeed! Dan yang masih lekat dibatok kepala disitu diekpos potret penyandang autis dengan ekspresi raut miris dan penjelasan yang sepertinya terlalu di blow-up, dibesar-besarkan. Walhasil, aku yang waktu itu masih duduk di bangku SD langsung menangkap definisi autis secara mentah sebagai kelainan pada anak yang sangat menakutkan, de engste dingen. Sampai akhirnya dengan seiring bergulirnya waktu aku mulai mendapatkan banyak pencerahan tentang autis.

Bermula dari guru  idola semasa SMP yang paling perfect dimata kami murid-muridnya, sebut saja Bu Lena. Perawakannya yang sedang dan kulitnya yang coklat sempurna, lalu tulang pipi yang menonjol tegas dengan mata bening keibuan membuatnya terlihat menawan. Dalam keseharian mengajar, Bu Lena selalu membingkai wajah imutnya dengan jilbab polos menutup dada. Begitulah, beliau sangat anggun, sangat pengertian dengan siswanya dan yang lebih penting mempunyai selera humor tinggi sehingga seringkali membuat kami terhibur dan terpingkal. Dus, pelajaran matematika yang biasanya selalu jadi zombie pemangsa otak nomor satu dikelas, tidak lagi berlaku waktu itu.

Sampai suatu hari ketika beliau mengajar , Bu Lena membawa anak sulungnya yang juga sama cantiknya. Sepintas tidak ada yang aneh, Dea, gadis kecil yang baru berusia 8 tahunan itu nampak ceria dan hiperaktif berlarian kesana-kemari, jumpalitan tak karuan dan suaranya melengking nyaring. Sementara pengasuhnya tampak kewalahan mengejar dan bermain dengannya. Anehnya, tak ada ekspresi lelah dimata Dea. Kami bahkan tak mendapati gurat kecemasan diwajah Dea saat ia melompat melesat menuruni anak tangga dan berguling ria layaknya dikasur saja. “Malaikat Ibu ini penyandang autis nak” begitu jawab Bu Lena, ketika Tyas temanku menanyakan perihal putrinya disaat break pelajaran. Demi mendengarnya, ingatanku langsung mencelat ke sampul majalah yang menggambarkan ketragisan seorang autis. Maka seketika itu juga tangan kananku reflek menutup mulutku yang membulat mencucu menahan keterkejutan. Namun belum juga hilang dari kagetku sejurus kemudian Bu lena banyak bercerita tentang Dea. Dan mulai saat itu aku tau, autis bukanlah kelainan mengerikan seperti yang sudah aku baca di banyak media.

Menyimpulkan dari apa yang dikatakan Bu Lena, autis secara sederhana adalah suatu kelainan dimana anak tidak bisa membangun hubungan sosial karena adanya kelainan kompulsif dan pengulangan yang biasanya disertai pula dengan kegagalan pembentukan intelegensia normal. Kata ‘autis’ itu sendiri dicomot dari bahasaYunani "autos", yang berarti diri sendiri. Hatta, biasanya anak-anak penyandang autis itu seakan hidup dalam dunianya sendiri, walau mereka terkepung di tengah keramaian sekalipun. Bagaimanapun yang perlu ditekankan, autis berbeda dari retardasi mental atau cedera otak, meskipun beberapa penyandang autis juga mempunyai kelainan ini. Sayangnya, kebanyakan dari kita masih meng-underestimate penyandang autis dan seolah merasa paling gagah dengan menggetokkan stempel tebal-tebal dijidat mereka: WARNING, AUTIS MUST BE AVOIDED! Nah lho, kalau sudah begini kan tewur bin ruwet jadinya.

Say, inilah yang harus diluruskan. Sejatinya seorang penyandang autis tidaklah jauh berbeda dengan kita yang juga membutuhkan space untuk diterima dan diperlakukan sama ditengah masyarakat. Kebanyakan dari mereka memang belum mengerti tentang autis. Mereka memiliki pandangan bahwa anak autis adalah anak nakal yang sulit diatur, anak keterbelakangan mental, sakit jiwa atau kemasukan roh jahat yang harus di jejali rentetan mantra Mbah Jambrong dan sebagainya. Dan drama nyata yan paling tragis adalah saat mendapati bahwa tak semua orang tua mau mengakui kondisi anaknya, masih banyak yang menolak atau menyembunyikannya karena merasa malu. Kasus seperti ini sempat heboh di kampung tempat kelahiranku, nun jauh disana di Lampung Selatan. Sebut saja Dicky, usianya baru genap 10 tahun namun sudah dipasung di kandang kambing oleh orangtua kandungnya. Dan perlakuan itu dilakoninya sejak Dicky berusia 3 tahun. Itu semua terjadi hanya karena dia divonis autis. Seandainya saja orang tuanya mampu menerima dan belapang dada, tentunya nasibnya tidak akan pernah sengenes dan sepiluitu. Setidaknya berusaha tegar seperti kasus lainnya disini.

Dan masalahnya menjadi sangat serius ketika kita mendapati banyak orang yang masih menganggap rendah dan hina terhadap penyandang autis. Mereka seolah dianggap kutukan tujuh turunan yang harus diperlakukan sewenang-wenang. Ini bukan sekedar wacana bung! Karena pada kenyataannya term autis itu sendiri bertransformasi menjadi olokan paling bengis untuk mewakili sesuatu yang gidil, seseorang yang menyebalkan dan menjijikan. Ironisnya, seringkali lawakan di TV dengan leluasa menggunakan istilah autis ini sebagai guyonan murahan yang mendatangkan tawa. Dan kita para penonton yang katanya berakal dan beretika malah mengamininya. Lantas dengan tanpa sungkan mengekor menirukan apa yang dikatakan si pelawak “jejadian” tersebut dengan sebegitu bangganya. Wooy Come on man??! Dimana empati kita?

Well, Bu Lena tidak sendirian. Ada ratusan ibu hebat di Indonesia yang dipercaya Tuhan untuk mengandung, melahirkan, merawat dan membesarkan anak surgawi seperti Dea. Begitulah, ketika menapaki masa kuliah, cerita kembali terulang. Mrs. Tofan, salah satu dosen fakultas humaniora yang paling aku favoritkan juga diberkahi seorang Jojo yang divonis penyandang autis. Mungkin kita bisa belajar banyak dari Mrs. Tofan lewat bijak katanya. Beliau begitu menggugah perasaan pembaca ketika sempat curhat menuliskan, ”Kita sering mengeluh dengan kesulitan penyandang autis mengikuti ‘prosedur komunikasi’ yang umum. Kita sering lupa pada hakikatnya mereka sangat istimewa, yang berbeda dari kebanyakan kita. Sesungguhnya mereka anak-anak surgawi yang mengajarkan kita banyak hal. Sayangnya kita tidak berpikir panjang pada hikmah tersembunyi dibalik pelajaran sabar dan ikhlas yang mereka tanamkan di lubuk hati kita yang paling dalam”.

Bagaimana tidak istimewa? Karena seorang penyandang autis memberi tantangan tersendiri bagi Ibu hebat yang membesarkannya juga keluarga super yang terus mendukungnya. Banyak kisah sukses diluar sana yang bisa mematahkan paradigma negatif autisme yang terlanjur mengakar menghujam dalam-dalam. Sebut saja Temple Grandine, Donna William, Bradley Olson dan lain-lain. Kisah hidupnya menjadi sumber inspirasi para orang tua, sehingga mereka semangat untuk bangkit demi sang anak. Dan kalau serius diarahkan tidak dipungkiri seorang penyandang autis bahkan dapat maju seribu kali lebih mencengangkan daripada mereka yang normal. Lihat saja cerita terbaru yang sempat kubaca lewat portal berita disini. Disebutkan bahwa menurut peneliti Profesor Simon Baron-Cohen dari Pusat Riset Autisme Universitas Cambridge, Inggris, seorang Newton dan Einstein yang jenius adalah penyandang autis.

Masih dari sumber yang sama, kesimpulan Baron-Cohen memang bukan sekedar isapan jempol. Newton, misalnya, dikenal sebagai ilmuwan nyentrik yang memiliki kesulitan berbicara, penyendiri, dan bermasalah dalam hubungan sosial. Tidak heran jika sedang bekerja di laboratoriumnya, ia kerap lupa segala hal-termasuk lupa mandi dan makan. Penemu teori gravitasi dan mekanika klasik ini, ujar Baron-Cohen, dipastikan menyandang sindrom asperger, salah satu bentuk autisme. Begitu juga Einstein, ilmuwan terkemuka abad modern, juga memiliki ciri-ciri autisme yang pekat. Penemu teori relativitas itu tak dapat melakukan interaksi sosial dengan baik. Einstein juga kerap gagap saat menghadapi publik untuk menjelaskan teori-teori cemerlangnya. Kalau sudah begini masihkah kita mentholo keukeuh meremehkan mereka?

Sekali lagi, sekedar meluruskan streotipe orang kebanyakan, autis bukanlah penyakit maka dari awal saya katakan penyandang bukan penderita. Autis bukan cacat mental, bukan gila bukan pula label. Dan karena autisme adalah gangguan perkembangan, kata “sembuh” jadi kurang tepat untuk mereka. Yang lebih tepat adalah bahwa individu autistik dapat ditatalaksana semaksimal mungkin, dan akhirnya dapat beradaptasi dengan berbagai situasi yang juga dihadapi orang lain pada umumnya. Berhentilah menggunakan istilah autis sebagai bahan joking maupun bullying. Kita boleh merasa senang dan puas dengan candaan kita, tapi secara bersamaan sudah sangat menyakiti perasaan banyak orang. Sudah saatnya membuka hati dan nurani untuk merangkul dan menggandeng mereka. Bukan lagi meminggirkannya.

Menyitir harapan seorang Ibu hebat, Mrs. Tofan semoga menjadi penutup pamungkas dari postingan penulis kali ini “Untuk anak autis sedunia, jadilah anak-anak yang berbahagia dan teruslah belajar untuk mandiri. Biarkan hari esok menyongsongmu dengan sejuta misterinya. Untuk orang tua anak autis dan ABK di Indonesia, tetaplah ikhlas dan bersyukur karena kita tidak sendirian. Allah akan senantiasa melimpahi kita dengan rezeki yang beragam wujudnya sebagai imbalan atas keikhlasan dan rasa syukur kita. Meskipun semuanya terasa tidak adil untuk permata hati kita, namun yakinlah bahwa kelak anak-anak autis akan mendapatkan perhatian dari negara untuk dipenuhi hak-haknya sebagaimana yang sudah ada di negara maju. Untuk semua insan yang peduli pada anak autis dan ABK, teruslah menyayangi dan mencintai anak autis dan ABK di lingkungan kita dengan cara yang kita bisa untuk mewujudkan impian kita bersama yaitu mengentaskan mereka dari kesulitan spektrum autismanya”. Indah sekali bukan? Well, semoga sedikit banyak memberi pencerahan bagi kita semua dan menjadi senjata masif untuk melempengkan paradigma negatifyang selama ini sudah sangat mendzolimi. Salam Kompasiana. SALAM PERSAHABATAN

Image supported was taken from here

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun