Mohon tunggu...
Didot Mpu Diantoro
Didot Mpu Diantoro Mohon Tunggu... Konsultan Komunikasi

Aktif di dunia periklanan dan komunikasi pemasaran sejak tahun 1996, mendirikan perusahaan periklanan sendiri sejak tahun 2001. Terlibat sebagai panitia dalam beberapa event olahraga berskala nasional maupun internasional sejak tahun 2008. Aktif sebagai konsultan komunikasi dan pembuat konten media sosial.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Permainan Tradisional, Warisan Budaya yang Mendidik dan Menguatkan Karakter Anak

23 Mei 2025   08:17 Diperbarui: 24 Mei 2025   18:22 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://www.liputan6.com/ 

https://www.balipost.com/news/2024/07/23/410336/Permainan-Tradisional-Miliki-Peran-Penting...html
https://www.balipost.com/news/2024/07/23/410336/Permainan-Tradisional-Miliki-Peran-Penting...html
Di tengah derasnya arus digitalisasi, saat anak-anak lebih akrab dengan layar ketimbang tanah lapang, permainan tradisional seperti congklak, gobak sodor, atau egrang justru menyimpan nilai yang kian relevan. Bukan hanya menghibur, permainan-permainan ini merefleksikan budaya, lingkungan hidup, bahkan cara berpikir masyarakat Indonesia. Ia adalah warisan budaya yang hidup, bergerak, dan mendidik.

Permainan tradisional lahir dari alam dan kebiasaan lokal. Tak perlu mainan mahal---cukup daun, batu, bambu, atau tali karet. Dari bahan-bahan sederhana itulah muncul kreativitas luar biasa. Psikolog Lev Vygotsky menekankan bahwa anak-anak belajar dari lingkungan sosialnya, dan bermain adalah sarana utama proses itu. Melalui permainan, anak-anak tak hanya menggerakkan tubuh, tetapi juga mengembangkan empati, strategi, kerja sama, dan pengendalian emosi.

Setiap permainan membawa nilai yang berbeda. Permainan individu seperti engklek atau bekel satu tangan melatih fokus dan kepercayaan diri. Permainan berpasangan seperti congklak atau adu kelereng mengasah strategi dan sportivitas. Sedangkan permainan kelompok seperti gobak sodor, bentengan, atau petak umpet menumbuhkan solidaritas, gotong royong, dan kepemimpinan.

Tak hanya soal nilai sosial, permainan tradisional juga memperlihatkan hubungan erat antara manusia dan lingkungannya. Di wilayah pesisir, anak-anak bermain sampan mini dari kulit pohon atau kelapa, yang mereka lombakan di sungai atau pantai. Ada juga lompat ombak di Sulawesi Utara dan kasti laut di Nusa Tenggara Timur, dimainkan di pasir basah saat air surut---semua mencerminkan keterampilan adaptasi dan kearifan bahari.

Berbeda lagi dengan daerah pegunungan. Di sana, permainan seperti egrang menggunakan bambu panjang untuk berjalan, menyesuaikan dengan kontur tanah berbukit. Di Minangkabau dan Toraja, gasing kayu dimainkan di tanah lapang, menunjukkan kepiawaian tangan dan kreativitas. Permainan seperti kelom batok di Kalimantan pun mencerminkan kehidupan masyarakat yang sangat dekat dengan hutan dan alam tropis.

Di wilayah rawa dan sungai, anak-anak menciptakan permainan dari interaksi langsung dengan air dan lumpur. Sebut saja bakiak lumpur di Kalimantan Selatan, atau berenang bambu di Sumatera Selatan, di mana batang bambu dijadikan pelampung. Ada juga lompat parit dan main getek yang menunjukkan bagaimana anak-anak memanfaatkan alam sekaligus belajar bertahan dan beradaptasi.

Lebih dari sekadar hiburan, permainan tradisional juga menjadi ruang belajar yang kaya. Anak-anak mengenal konsep jual-beli lewat pasar-pasaran, memahami nilai kerja lewat permainan dagang-dagangan, dan mengasah kreativitas dengan membuat mainan dari daun kelapa atau sabut. Permainan ini sekaligus menjadi refleksi aktivitas ekonomi lokal dalam format anak-anak, sebuah proses "learning by doing" yang sudah diajarkan jauh sebelum istilah itu populer di dunia pendidikan modern.

Sosiolog Emile Durkheim menyebut bahwa kegiatan kolektif seperti bermain membantu menanamkan nilai-nilai bersama dalam masyarakat. Anak belajar mematuhi aturan, bersikap jujur, dan bertanggung jawab dalam suasana yang menyenangkan. Teori belajar sosial dari Albert Bandura pun memperkuat hal ini: anak belajar dengan meniru, dan permainan menjadi model pembelajaran yang efektif dan natural.

Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah permainan tradisional masih relevan, tapi bagaimana kita menghidupkannya kembali di tengah kehidupan modern. Permainan ini bukan kompetitor gadget, tapi pelengkap yang mengajarkan sesuatu yang tak bisa didapat dari layar: koneksi nyata, akar budaya, dan nilai-nilai kehidupan.

Sebagaimana kata Paulo Freire, pendidikan terbaik lahir dari pengalaman nyata. Maka mari kita hidupkan kembali permainan tradisional, bukan demi nostalgia, tapi demi anak-anak yang lebih seimbang, lebih membumi, dan lebih siap menghadapi dunia.

Catatan Editor:
Tulisan ini mengajak pembaca melihat ulang nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tradisional sebagai bagian dari pendidikan karakter dan pelestarian budaya. Yuk, kenalkan kembali permainan masa kecil kepada generasi berikutnya---karena masa depan yang kuat berakar pada warisan yang kita jaga hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun