Mohon tunggu...
Didit SuryoTri
Didit SuryoTri Mohon Tunggu... Freelancer - Pecinta Sepak Bola dan Penikmat Dua Gelas Es Teh

Pecinta Sepak Bola dan Penikmat Dua Gelas Es Teh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Moralitas Lima Bintang

10 Agustus 2020   17:52 Diperbarui: 10 Agustus 2020   18:12 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perkembangan teknologi informasi saat in telah membuka ruang yang sangat luas bagi individu dalam mengekspresikan dirinya secara bebas. Sebelum adanya media sosial, misalnya, bisa jadi ada orang-orang yang merasa malu dalam mengekspresikan diri, karena ruang dalam mengekspresikan diri tersebut berada dalam ruang nyata dan interaksi yang diterima dari orang lain juga terjadi secara langsung. 

Akan tetapi, dengan media sosial saat ini (baik Twitter, Instagram, Vlog dll), dalam mengekspresikan dirinya, seseorang tidak perlu menghadapi orang lain secara langsung. Juga interaksi yang diterima dari orang lain tidak terjadi secara langsung, sehingga orang dalam mengekspresikan diri di media sosial dapat menghadirkan image-image diri yang lain, yang bisa jadi sangat berbeda dengan dirinya dalam dunia nyata. 

Yasraf Amir Piliang menyebut kondisi tersebut dengan istilah "anonimitas". Anonimitas memungkinkan seorang individu menghadirkan image diri, peristiwa tertentu atau gambar-gambar dari kejadian tertentu bukan untuk memberikan informasi yang benar melainkan untuk membuat stereotipe, pencitraan atau menggiring anggapan orang agar kita terlihat bahagia, menyenangkan, pandai, kritis, shaleh bahkan mungkin terlihat kaya dan mewah.

Media sosial teknologi informasi mulai menggeser sebuah norma baru, yang jauh berbeda dengan norma lama. Norma baru yang terbentuk dengan adanya media sosial ini juga telah menimbulkan moralitas baru, yaitu elektronik moral (e-moral). Bila moral yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan baik-buruk, benar-salah yang bersumber dari nilai-nilai yang dianut oleh mayarakat tertentu, maka e-moral tidaklah demikian. 

Dalam e-moral, ditentukannya apa yang baik atau tidak baik, benar atau salah diukur melalui komentar dari warganet. Sebagaimana kita ketahui, media sosial yang menjadi masyarakat adalah warganet, yang tidak terbatas pada wilayah dan mempunyai nilai-nilai masyarakat yang berbeda-beda. Penilaian dalam e-moral jelas tak memiliki pandangan yang sama. Sanksi moral yang berlaku adalah hujatan, cibiran dan cacian dari wargnet atau di unfriend dan unfollow.

Interaksi yang terjadi di media sosial juga sangat berbeda dengan interaksi dalam dunia nyata. Kita dapat berteman dengan banyak orang di facebook, bisa punya banyak pengikut (followers) di twitter dan Instagram tanpa pernah bertatap muka, tanpa tahu nama sebenarnya dan bagaimana mukanya. Walaupun terjadi di dunia maya, hal ini ternyata juga bisa berpengaruh terhadap individu di dunia nyata. 

Banyak komentar-komentar dari warganet yang menghujat kita di media sosial, dapat berdampak pada kondisi psikologis kita. Misalnya kita menjadi depresi, galau atau marah menanggapi komentar warganet yang bisa jadi hanya menulis komentar secara sembarangan dan iseng belaka. Atau fenomena yang terjadi saat ini, apabila follower kita berkurang maka seolah-olah kita juga telah kehilangan teman, kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Apa yang dipaparkan kawan Dipo Suryo dalam tulisannya yang berjudul "Mendadak Shaleh" di laman artikulasi.id merupakan salah satu fenomena bagaimana e-moral ini bekerja. Orang-orang melakukan tindakan untuk dapat mencitrakan dirinya sebagai baik dalam masyarakat dunia maya, yang bisa jadi sangat berbeda tindakannnya dengan apa yang dilakukan dalam dunia nyata. 

Dalam moral lama, terlihat jelas tindakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan dinilai langsung oleh masyarakat di mana dia hidup secara langsung, karena memang demikianlah kebiasaannya sehari-hari. Moral lama merepresentasikan moralitas seseorang yang sebenarnya. E-moral belum tentu merepresentasikan seseorang yang sebenarnya, e-moral dapat membentuk moralitas palsu dari seseorang.

Perbedaan E-moral dan moralitas lama juga terlihat dari hilangnya batasan-batasan antara dunia anak dan dewasa, dunia pribadi dan publik, dunia palsu dan sebenarnya, dunia nyata dan dunia maya. 

E-moral telah mengubah pola justifikasi masyarakatnya terhadap nilai-nilai kebaikan atau ketidakbaikan. Justifikasi hanya sesederhanan memencet tombol like atau dislike, memberikan emoticon love, hanya menuliskan satu atau dua kalimat dalam kolom komentar saja serta memberikan lima bintang dalam aplikasi smartphone kita. Hal ini jelas tak ditemukan dalam justifikasi moralitas lama kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun