Setiap tahun, berbagai kampus di Indonesia seperti : IPB, UGM, Unpad, hingga Universitas Brawijaya merilis varietas benih unggul. Kualitas benih yang diklaim tidak tanggung-tanggung. Kualitas benih yang dimaksud seperti :daya hasil tinggi, tahan penyakit, hemat pupuk , bahkan tahan perubahan iklim. Hasil riset di atas kertas, semuanya terdengar luar biasa. Namun anehnya di lapangan, benih-benih ini sering kalah pamor dibanding benih dari perusahaan swasta. Kok bisa ?
1. Masalahnya bukan di mutu, tapi di jembatannya
Saya percaya bahwa benih hasil riset kampus itu bagus. Tapi masalahnya bukan sekadar di kualitas, melainkan pada penyambung antara kampus dan petani. Maksud penyambung adalah penghubung informasi yang meliputi kegiatan promosi. Karena promosinya kurang, menyebabkan banyak petani tidak tahu bahwa ada varietas jagung dari IPB, padi dari UGM, atau cabai hibrida dari Unpad. Mungkin jika petani yang masih dekat area kampus sudah mengenal benih hasil riset mereka, namun jika petani tinggal di daerah 3T, apa sudah pasti mengenal benih hasil riset kampus-kampus tersebut ?
Baiklah coba kita melihat strategi marketing yang dimiliki oleh perusahaan benih swasta. Mereka punya tim marketing solid. Tim tersebut mempromosikan produk lewat media cetak, sales, bahkan kampanye iklan di media sosial. Tak hanya itu, perusahaan benih swasta ini juga menyediakan paket benih uji coba (trial), bahkan penyuluh yang memandu teknik uji coba benih di sawah. Sementara di kampus rata-rata mempublikasi lewat artikel ilmiah, simposium dan pengabdian masyarakat di daerah yang dekat kampus saja.
2. Petani Butuh Bukti Lapangan, Bukan Cuma Hasil Lab
Sebenarnya petani kita tak perlu diberi iming-iming yang 'wah' karena petani kita itu realistis. Tujuan mereka menanam benih tanaman ya untuk mencari nafkah dan untung bukan untuk coba-coba benih yang masih belum teruji. Sebab walaupun uji coba lapang tetap membutuhkan biaya persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman sampai panen. Oleh karena itu, mereka tidak mudah percaya kecuali sudah melihat hasilnya langsung di ladang.
Beruntungnya ada beberapa penelitian terbaru justru menunjukkan bahwa petani yang sudah mencoba benih kampus cukup puas. Menurut penelitian dari Mubarokah & Priyanto (2024), petani di desa Bangkok, Kediri puas dengan jagung hibrida lokal P-21 dengan nilai Customer Satisfaction Index (CSI) sebesar 76,9%. Parameter yang paling disukai adalah produktivitas tinggi, ketahanan terhadap hama, dan harga jual hasil panen.
Sementara itu, Baskoro di tahun 2018 menguji tingkat kepuasan petani di Desa Pendem, Kota Batu terhadap varietas padi hibrida Mapan P-05. Â Petani di desa tersebut cukup puas karena indeks CSI-nya sebesar 62,4%. Meski cukup puas, petani menyampaikan keluhan terhadap umur panen yang kurang cocok dan ketersediaan benih yang terbatas di pasaran. Dari dua penelitian di atas, benih dari kampus bisa di terima dengan baik jika menjawab permasalahan yang ditemui di lapang.
3. Kurangnya pendekatan partisipatif
Banyak artikel ilmiah yang membuktikan bahwa benih riset dari kampus memiliki karakter unggul namun ternyata tidak semua benih dari kampus cocok di pasaran. Contonya, ada cabai rawit ukurannya seragam namun warna merahnya tidak seragam yang didominasi oranye, sayangnya cabe rawit seperti ini kurang diminati konsumen. Sebab, para konsumen menginginkan warna dan ukuran seragam. Akibatnya cabai-cabai tersebut banyak membusuk dan petani merugi. Hal terjadi karena saat riset dikembangkan oleh kampus tidak melibatkan petani sejak tahap awal pemuliaan. Padahal, keterlibatan petani sangat penting agar inovasi benar-benar menjawab kebutuhan lapangan, bukan hanya memenuhi publikasi ilmiah saja.