Pada suatu malam yang ditulis ulang oleh langit, Tottenham Hotspur akhirnya menepati janji yang dulu hanya sebatas mimpi. Di final Liga Eropa 2025, mereka—ya, Tottenham—mengangkat trofi. Bukan trofi pramusim, bukan piala lelang amal, tapi trofi yang betulan dihitung UEFA.
Tentu saja, semesta sempat bingung. Alam seperti berhenti sejenak untuk mengecek ulang naskah takdir. Bahkan hujan walaupun sekedar rintik yang turun di malam final pun seperti ragu ... “Ini... Tottenham? Beneran?” Tapi ya, di situlah keajaiban: bahkan hujan rintik pun akhirnya luluh dan turun bukan untuk mengejek, melainkan untuk memberi restu.
Tottenham bukan klub yang dibesarkan dengan gelar. Mereka dibesarkan dengan harapan dan kekecewaan yang tumbuh subur seperti jamur di musim penghujan. Klub ini lebih sering menjadi puisi tragis daripada pahlawan laga. Kalau klub-klub lain ibarat pohon beringin megah, Tottenham adalah pohon kecil di sudut halaman yang setiap tahun ditendang bola tapi tetap tumbuh. Tidak tumbang, cuma tertunduk dan menunggu waktu.
Tottenham selama ini adalah filosofi kesabaran yang hidup. Klub yang seringkali dianggap penunggu parkiran piala, pengantar nasi kotak untuk juara lain, dan inspirasi para motivator gagal. Fans mereka tumbuh bukan dengan gelar, tapi dengan iman. Iman yang bahkan Manchester United pun mulai kehilangan karena setelah era Ferguson, MU lebih sering tampil seperti sinetron dengan episode tak berujung: banyak drama, sedikit plot.
Bedanya, Tottenham tidak pernah berpura-pura hebat. Mereka tahu diri, seperti pohon kecil di tengah hutan yang tidak minta perhatian, tapi akarnya terus mencari jalan. Sementara MU terus menyewa pelatih baru seperti orang cari jodoh di aplikasi, Tottenham memilih satu jalan sepi dan penuh kerikil: membangun dari bawah.
Dan malam itu, jalan mereka sampai di ujung. Bukan karena tiba-tiba hebat, tapi karena konsisten bertumbuh saat yang lain sibuk cari sensasi. Lawan mereka datang dengan kostum kebesaran dan ego sebesar stadion. Tapi Tottenham membawa sesuatu yang tidak bisa dibeli: luka lama. Dan luka, jika diberi waktu dan tekad, bisa berubah jadi senjata.
Saat peluit panjang ditiup dan papan skor menampilkan kemenangan Spurs, dengan gol yang sangat menjengkelkan ( tottenham vs manchester united f.c. https://g.co/kgs/QGkwb5z ), bumi seakan membenarkan satu hal:
“Kadang, yang paling sabar menunggu adalah yang paling layak untuk diingat.”
Gerimis sejenak diam, bukan untuk ejekan, tapi memberi ruang pelukan. Fans Tottenham menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung harus ngapain karena mereka tak punya template merayakan trofi. Sementara itu, fans MU mengetik di grup: “Kita masih punya sejarah kok…” Iya, sejarah. Itu yang bisa dipajang sambil Tottenham mengangkat trofi masa kini.
Dan dari semua lelucon yang pernah ada, yang satu ini paling lucu: Tottenham, klub yang sering jadi bahan sarkas, kini justru mengajari dunia tentang makna juara sejati. Jangan salahkan kami kalau langit malam itu ikut tertawa. Tapi bukan tertawa mengejek. Tertawa bahagia.
Untuk Spurs. Dan semua yang pernah ditertawakan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI