Mohon tunggu...
Didin Abramovich Alfaizin
Didin Abramovich Alfaizin Mohon Tunggu... Pengamat layar laptop

Bukan tukang kritik, hanya penyampai ide. Penyuka anime. Punya impian menganggrekkan lorong depan rumah. Salam literasi dari langit suram Makassar

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Tanggal Tua dan Semangkuk Indomie

21 Mei 2025   11:37 Diperbarui: 22 Mei 2025   14:29 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tanggal tua itu bukan tanggal di kalender, tapi kondisi spiritual. Semacam pertapaan ekonomis yang membuatmu mempertanyakan semua keputusan finansialmu dari awal bulan. Kenapa beli kopi 35 ribu waktu itu? Kenapa percaya diskon 11.11 padahal ternyata cuma mark-up doang? Dan kenapa... kenapa Indomie sekarang jadi sahabat sejati?

Isi kulkas seperti hati mantan---dingin dan kosong. Satu-satunya yang tersisa hanya lampu dalam kulkas yang masih nyala, seakan mengejek, "Kamu yakin mau buka aku lagi?"

Di tengah krisis eksistensial dan keuangan itu, kamu rebus air. Ritual kuno yang diwariskan turun-temurun: bikin Indomie. Bukan sembarang Indomie, tapi Indomie bertabur cabe rawit sebanyak rasa denial-mu terhadap realita. Karena apa? Karena semakin pedas, semakin kamu bisa pura-pura itu air mata karena cabe. Bukan karena kamu baru cek saldo dan tinggal Rp12.719.

Kamu duduk menghadap mangkuk seperti menghadiri sidang kehidupan. Di sana, mi instan yang katanya "siap dalam 3 menit" mengingatkanmu bahwa tidak semua hal instan itu menyenangkan. Termasuk cinta, utang online, dan gajian yang raib dalam hitungan hari.

Setiap suapan, kamu berusaha meyakinkan diri sendiri: "Ini enak, ini nikmat." Padahal lidahmu sedang kebakar, dan kamu tahu, kalau ada uang lebih, kamu pasti pesan ramen di luar---yang bahkan topping-nya bisa ngatain mi instanmu ini: "Serius? Kamu cuma pakai telur rebus bekas kemarin?"


Tapi hidup adalah soal kompromi. Kamu kompromi dengan keadaan, kompromi dengan rasa lapar, dan kompromi dengan mie yang terlalu matang karena tadi sempat bengong mikirin cicilan.

Filosofi pun muncul, karena otak manusia memang paling bijak saat perut pas-pasan: Hidup itu seperti semangkuk Indomie---kalau terlalu banyak diaduk, hancur. Kalau kelamaan ditunda, mengembang dan gak enak. Tapi tetap saja, kamu makan juga, karena ya... tidak ada pilihan lain.

Dan akhirnya kamu menatap mangkuk kosong itu dengan penuh harap, seolah ada epilog bahagia setelahnya. Tapi yang ada cuma kenyataan: cuci piring, lalu tidur dengan perut setengah kenyang dan jiwa yang hampir pasrah.

Tapi hei, kamu bertahan. Dengan mi, cabe, dan sedikit sarkas dalam hidup. Di tanggal tua, itu sudah cukup untuk disebut epik.


Kadang, kamu membayangkan ada lomba makan Indomie antar pejuang tanggal tua se-Nusantara. Pemenangnya bukan yang paling cepat habis, tapi yang bisa menahan air mata paling lama sambil bilang, "Enak, kok." Di puncak podium, mereka tak dikalungi medali, tapi nota belanja Alfamart yang tinggal Rp3.000-an, diselipkan di dompet bekas SIM lama. Juri lombanya? Tukang listrik dan aplikasi paylater yang setiap malam setia mengingatkan lewat notifikasi berbunyi "Waktunya bayar, Sobat!"

Dan anehnya, setelah makan, kamu merasa... damai. Bukan kenyang, tapi damai. Seperti habis mediasi dengan realita hidup dan keluar tanpa solusi, tapi minimal tak berantem lagi. Mangkuk kosong itu jadi simbol kemenangan absurd: kamu tidak makan mewah, tapi kamu masih hidup. Kamu tidak punya banyak, tapi kamu bisa tertawa---meskipun sarkas---dan itu, kadang lebih bergizi daripada nasi padang bungkus utang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun