Mohon tunggu...
Didik Djunaedi
Didik Djunaedi Mohon Tunggu... Editor - Penulis, Editor dan Penikmat Hiburan

Editor, penulis, dan penikmat hiburan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mestakung: Film dengan Rumus Fisika yang Inspiratif

24 Oktober 2011   00:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:35 1534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_137509" align="aligncenter" width="614" caption="Film dengan rumus fisika."][/caption] Prestasi Indonesia di bidang olah raga secara internasional dari tahun ke tahun sepertinya tidak juga beranjak maju atau bahkan di beberapa cabang mulai menurun. Dulu kita sempat tersenyum bangga ketika srikandi Indonesia berhasil meraih medali pertama di Olimpiade tapi prestasi tersebut sepertinya tidak berkelanjutan. Di cabang bulutangkis yang beberapa tahun silam kita adalah negara yang disegani, akhir-akhir ini terpuruk. Di tingkat Asia dan bahkan Asia Tenggara pun kini kita nyaris tak terdengar. Di tengah kemunduran prestasi di bidang olah raga, di bidang lain Indonesia dalam beberapa tahun terakhir termasuk negara yang sering mendapat tempat terhormat di tingkat dunia, yaitu di ajang olimpiade sains. Sudah tidak terhitung banyaknya medali yang diraih para pelajar kita. Hampir setiap tahun di berbagai ajang olimpiade sains, kita menghasilkan juara-juara yang berasal dari berbagai pelosok wilayah Indonesia, tidak hanya dari kota-kota besar seperti Jakarta, Medan atau Surabaya. Di tengah prestasi tersebut ada satu nama yang tidak bisa dilepaskan campur tangannya, Profesor Yohannes Surya yang selama ini giat memajukan pendidikan sains dengan berbagai cara. Prestasi para pelajar Indonesia di bidang sains, terutama di kejuaran tingkat dunia, inilah yang menginspirasi pembuatan film berjudul Semesta Mendukung (Mestakung). Film keluaran Mizan Productions dan Falcon Films yang mulai beredar sejak akhir pekan lalu ini menjadi oase di tengah film Indonesia bertema hantu-hantuan atau komedi seks yang mulai menjemukan. Film ini berkisah tentang seorang pelajar SMP Negeri 1 Sumenep, Madura bernama Muhammad Arif yang mempunyai kemampuan lebih di bidang sains. Anak tunggal seorang supir truk (Lukman Sardi) yang sehari-hari bekerja di bengkel selepas sekolah ini menunjukkan keunggulan sains dalam kehidupan sehari-harinya. Arif kecil berhasil menerapkan beberapa teori fisika untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi teman-temannya atau membantu pamannya menganalisis pertandingan karapan sapi. Salah satu guru sains-nya, Bu Tari (Revalina S. Temat) melihat bakat muridnya ini dan mendorongnya untuk mengikuti olimpiade sains di tingkat provinsi. Semula Arif ragu untuk mengikuti olimpiade tersebut karena ia tidak punya waktu untuk mempersiapkannya. Selepas sekolah ia berusaha mengumpulkan uang untuk biaya menemukan ibunya yang sudah tujuh tahun pergi ke Singapura melalui bantuan seorang lelaki Madura flamboyan (Sujiwo Tejo) yang akhirnya malah menipunya. Ketika mengetahui hadiah kejuaran tersebut adalah berupa uang jutaan rupiah, Arif tergerak untuk mengikutinya meskipun sang kepala sekolah akhirnya tidak mendukung karena tidak memiliki biaya. Semangat Arif mulai mengendur dan Bu Tari pun kecewa hingga suatu hari bu guru nan cantik dan berhati mulia tersebut merekam dengan ponsel adegan Arif membantu teman-temannya menurunkan bola yang tersangkut di pohon menggunakan fisika terapan sederhana. Rekaman video tersebut dikirim Bu Tari ke sahabatnya, Pak Tio Yohannes (Ferry Salim) yang mempunyai wadah penggemblengan bagi siswa yang akan mengikuti olimpiade sains di Jakarta. Pak Tio yang sepertinya gambaran tokoh menyerupai Profesor Yohannes Surya ini dari Jakarta datang ke Madura untuk menjemput Arif. Di tengah kegalauan Arif yang mengetahui bahwa sang Kepala Sekolah tidak mendukung, Arif sempat menolaknya tetapi ketika mendengar bahwa Olimpiade Sains ini akan diadakan di Singapura, Arif bersemangat kembali karena motivasi awalnya memang hanya ingin bertemu dengan ibunya yang konon tinggal di negara tetangga tersebut. Saat itu pula Arif sempat bertengkar dengan ayahnya ketika mengetahui alasan kepergian ibunya adalah karena ayahnya yang suka berjudi pada masa lalu. Adegan pertengkaran ini hingga kepergian Arif ke Jakarta sungguh sangat menyentuh. Bersiaplah untuk menyediakan sapu tangan atau kertas tissue untuk menyeka air mata.

Cerita film ini berlanjut dengan adegan suka-duka Arif berada di karantina lembaga FUSI (Fisika untuk Seluruh Indonesia) berkumpul dengan jagoan-jagoan sains lain dari berbagai pelosok Indonesia. Arif sempat merasa minder dengan prestasi selama di karantina karena ternyata ia tidak mampu bersaing dengan pelajar-pelajar lain. Kegalauan Arif memuncak hingga membuatnya berkeinginan pulang balik ke Madura. Justru melalui nasihat penjual ketoprak asal Madura (Indro Warkop), Arif menemukan semangat dan motivasi hakiki dalam mengerjakan sesuatu: bekerja dengan hati. Dengan semangat baru tersebut Arif kembali ke asrama dan melalui dorongan teman seasramanya, MH Thamrin yang asli betawi ia berjanji akan melakukan yang terbaik. Namun, usaha Arif tersebut tidak juga membuahkan hasil masuk ke dalam enam besar yang akan dikirim ke Singapura. Bagaimana selanjutnya cerita film ini? Apakah Arif berhasil meraih impiannya? Saya tidak ingin menjadi spoiler dan Anda wajib menonton sendiri film karya John de Rantau yang layak disaksikan bersama seluruh anggota keluarga ini. Di film ini bertaburan kata-kata penyemangat untuk mencapai tujuan, baik kutipan dari buku Profesor Yohannes yang berjudul Mestakung maupun dari seorang maestro sains ternama, Albert Einstein. Dalam sebuah kesempatan terucap kata-kata Einsteins: "Seseorang yang tidak pernah membuat kesalahan berarti ia tidak pernah mencoba sesuatu yang baru" dan tentu saja kalimat yang menjadi jiwa dari film ini: bila kita telah berusaha sekuat tenaga untuk meraih cita-cita, niscahya semesta akan mendukung. Menurut catatan penulis, film ini juga merupakan film Indonesia pertama yang menyertakan rumus fisika nan rumit dalam adegannya tetapi tidak membuat kita pusing. Saya jadi ingat Stephen Hawking saat menulis buku bestseller-nya, A Brief History of Time, ia diwanti-wanti untuk tidak menyertakan rumus dalam buku fisika populer tersebut dan ia menyetujuinya tetapi ia tidak bisa mengelak untuk menyertakan rumus: E = mc2. Dan ia bercanda seandainya ia tidak menyertakan rumus pendek tersebut, bukunya pasti akan lebih laku lagi. (Didik Djunaedi)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun