Pernahkah Anda melihat sebuah kebijakan yang tampak indah di permukaan, tapi sesudah dijalankan justru menimbulkan lebih banyak masalah daripada solusi?
Sebuah perusahaan pernah mencoba melakukan hal yang sepintas terlihat sangat mulia. Mereka menyediakan makanan bergizi untuk setiap anak karyawan. Alasannya sederhana: supaya anak-anak tumbuh sehat, orang tua terbantu, dan perusahaan dianggap peduli. Kalau dibaca sekilas, siapa yang berani bilang ini bukan ide bagus?
Tapi sesudah berjalan beberapa waktu, masalah demi masalah muncul. Apa yang awalnya terlihat sebagai kebaikan, ternyata menyisakan kerumitan yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Akhirnya, perusahaan sadar kalau memberi makan anak-anak bukanlah solusi yang menyentuh akar permasalahan. Mereka lalu mengubah arah: meningkatkan profit perusahaan supaya bisa menggaji karyawan lebih layak, sehingga para orang tua mampu sendiri memberikan makanan bergizi bagi anak-anak mereka.
Di sinilah kita belajar: niat baik tidak selalu berujung baik kalau eksekusinya tidak tepat. Mari kita telusuri lebih dalam.
Niat Baik yang Berbelok di Tengah Jalan
Bayangkan sebuah keluarga sederhana. Ayah bekerja di perusahaan itu, ibu mengurus rumah, anak-anak bersekolah. Tiba-tiba datang pengumuman: mulai bulan depan, setiap anak karyawan akan mendapatkan makanan bergizi gratis dari perusahaan. Semua orang langsung bersorak. Rasanya seperti mimpi.
Hari pertama pembagian, anak-anak pulang membawa bekal dalam kotak cantik berlogo perusahaan. Isinya buah segar, susu, lauk berprotein, dan sayur warna-warni. Orang tua bangga, anak-anak senang. Tapi seminggu kemudian, muncul keluhan.
Ada anak yang tidak suka sayur tertentu, ada orang tua yang merasa makanan tidak sesuai selera budaya mereka, ada juga yang mempertanyakan kualitas dan kebersihan katering. Beberapa keluarga bahkan merasa malu karena seolah tidak dipercaya mampu memberi makan anak sendiri. Yang tadinya dimaksudkan sebagai "kebaikan", malah memunculkan rasa tidak nyaman.
Padahal, niat awal perusahaan benar-benar tulus. Tapi di sinilah paradoks muncul: niat baik saja tidak cukup, perlu pemahaman mendalam tentang kebutuhan yang sebenarnya.
Kebaikan yang Terlalu Mengatur
Dalam psikologi, ada istilah paternalism. Ini terjadi ketika seseorang atau lembaga merasa tahu apa yang terbaik untuk orang lain, lalu membuat keputusan atas nama mereka. Tujuannya sering baik, tapi hasilnya bisa merampas kemandirian orang lain.
Kebijakan memberi makan anak karyawan adalah contoh nyata. Perusahaan seperti berkata: "Kami tahu apa yang terbaik untuk anak-anak kalian." Padahal, orang tua punya konteks masing-masing. Ada yang punya kebiasaan makanan daerah, ada yang punya alergi tertentu, ada yang punya preferensi cara memasak.