Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

IG: cakesbyzas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Kebaikan Jadi Repot: Belajar dari Kebijakan Memberi Makan Anak Karyawan

28 September 2025   07:10 Diperbarui: 28 September 2025   13:51 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebijakan baik tapi tidak tepat sasaran cuma akan menimbulkan masalah baru (Gemini AI-generated image) 

Pernahkah Anda melihat sebuah kebijakan yang tampak indah di permukaan, tapi sesudah dijalankan justru menimbulkan lebih banyak masalah daripada solusi?

Sebuah perusahaan pernah mencoba melakukan hal yang sepintas terlihat sangat mulia. Mereka menyediakan makanan bergizi untuk setiap anak karyawan. Alasannya sederhana: supaya anak-anak tumbuh sehat, orang tua terbantu, dan perusahaan dianggap peduli. Kalau dibaca sekilas, siapa yang berani bilang ini bukan ide bagus?

Tapi sesudah berjalan beberapa waktu, masalah demi masalah muncul. Apa yang awalnya terlihat sebagai kebaikan, ternyata menyisakan kerumitan yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Akhirnya, perusahaan sadar kalau memberi makan anak-anak bukanlah solusi yang menyentuh akar permasalahan. Mereka lalu mengubah arah: meningkatkan profit perusahaan supaya bisa menggaji karyawan lebih layak, sehingga para orang tua mampu sendiri memberikan makanan bergizi bagi anak-anak mereka.

Di sinilah kita belajar: niat baik tidak selalu berujung baik kalau eksekusinya tidak tepat. Mari kita telusuri lebih dalam.

Niat Baik yang Berbelok di Tengah Jalan

Bayangkan sebuah keluarga sederhana. Ayah bekerja di perusahaan itu, ibu mengurus rumah, anak-anak bersekolah. Tiba-tiba datang pengumuman: mulai bulan depan, setiap anak karyawan akan mendapatkan makanan bergizi gratis dari perusahaan. Semua orang langsung bersorak. Rasanya seperti mimpi.

Hari pertama pembagian, anak-anak pulang membawa bekal dalam kotak cantik berlogo perusahaan. Isinya buah segar, susu, lauk berprotein, dan sayur warna-warni. Orang tua bangga, anak-anak senang. Tapi seminggu kemudian, muncul keluhan.

Ada anak yang tidak suka sayur tertentu, ada orang tua yang merasa makanan tidak sesuai selera budaya mereka, ada juga yang mempertanyakan kualitas dan kebersihan katering. Beberapa keluarga bahkan merasa malu karena seolah tidak dipercaya mampu memberi makan anak sendiri. Yang tadinya dimaksudkan sebagai "kebaikan", malah memunculkan rasa tidak nyaman.

Padahal, niat awal perusahaan benar-benar tulus. Tapi di sinilah paradoks muncul: niat baik saja tidak cukup, perlu pemahaman mendalam tentang kebutuhan yang sebenarnya.

Kebaikan yang Terlalu Mengatur

Dalam psikologi, ada istilah paternalism. Ini terjadi ketika seseorang atau lembaga merasa tahu apa yang terbaik untuk orang lain, lalu membuat keputusan atas nama mereka. Tujuannya sering baik, tapi hasilnya bisa merampas kemandirian orang lain.

Kebijakan memberi makan anak karyawan adalah contoh nyata. Perusahaan seperti berkata: "Kami tahu apa yang terbaik untuk anak-anak kalian." Padahal, orang tua punya konteks masing-masing. Ada yang punya kebiasaan makanan daerah, ada yang punya alergi tertentu, ada yang punya preferensi cara memasak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun