Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

IG: cakesbyzas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Kebaikan Jadi Repot: Belajar dari Kebijakan Memberi Makan Anak Karyawan

28 September 2025   07:10 Diperbarui: 28 September 2025   13:51 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebijakan baik tapi tidak tepat sasaran cuma akan menimbulkan masalah baru (Gemini AI-generated image) 

Ketika kebaikan berubah menjadi kontrol, maka yang muncul bukan rasa syukur, tapi resistensi. Bahkan, beberapa karyawan mungkin merasa harga dirinya sebagai orang tua dipertanyakan. Seolah perusahaan lebih bisa diandalkan daripada mereka sendiri dalam mengurus anak.

Islam mengajarkan kalau setiap orang tua adalah pemimpin bagi keluarganya. Memberi makan anak adalah amanah, bukan sekadar rutinitas. Kalau amanah itu diambil alih pihak lain, bukankah peran orang tua jadi tereduksi?

Masalah yang Tidak Disentuh Akar

Kalau dipikir lebih jauh, kenapa ada anak karyawan yang sulit mendapatkan makanan bergizi? Bukan semata karena orang tua malas atau tidak tahu, tapi karena penghasilan terbatas.

Makanan sehat memang lebih mahal dibandingkan makanan instan atau jajanan murah. Jadi, ketika perusahaan memilih memberikan makanan langsung, masalah sebenarnya---yaitu pendapatan yang belum cukup---tetap tidak terselesaikan.

Sama seperti menambal ban yang bocor dengan plester, bukan menambalnya dari dalam. Plester mungkin bertahan sebentar, tapi cepat rusak lagi.

Dari sudut pandang ekonomi, kebijakan seperti ini hanyalah subsidi sesaat. Tidak meningkatkan daya beli keluarga, tidak memperkuat kesejahteraan jangka panjang, cuma memindahkan tanggung jawab dari rumah ke perusahaan.

Beban Operasional yang Tak Terduga

Mari kita bicara soal realitas. Memberi makan anak karyawan berarti perusahaan harus memikirkan banyak hal: kontrak katering, pengawasan gizi, distribusi harian, penyimpanan, sampai keluhan. Biayanya besar, pengawasannya rumit, dan akhirnya malah mengalihkan fokus dari bisnis utama perusahaan.

Seperti seseorang yang berniat membantu tetangga dengan cara memasakkan makan malam setiap hari. Niatnya mulia, tapi lama-lama lelah sendiri. Padahal, kalau ia membantu tetangganya mendapat pekerjaan yang lebih baik, tetangga itu bisa membeli bahan makanan dan memasak sendiri sesuai selera.

Perusahaan akhirnya sampai pada kesimpulan yang sama: lebih bijak meningkatkan profit supaya bisa menggaji karyawan lebih tinggi. Dengan begitu, orang tua punya kemampuan memberi makan anak sesuai kebutuhan masing-masing, tanpa harus bergantung pada sistem tambahan yang rumit.

Kemandirian adalah Kebaikan yang Sesungguhnya

Di sinilah letak perbedaan antara memberi ikan dan memberi kail. Ketika perusahaan cuma memberi makanan, mereka sekadar memberi ikan. Anak memang kenyang, tapi ketergantungan terbentuk.

Tapi ketika perusahaan memperkuat fondasi bisnisnya, meningkatkan efisiensi, menambah nilai tambah, lalu akhirnya mampu menaikkan gaji, itulah kail sesungguhnya. Orang tua bisa memilih sendiri makanan terbaik untuk anaknya, sesuai selera, tradisi, dan kebutuhan gizi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun