Ada hari-hari di mana kita bangun pagi, menatap layar ponsel, dan yang muncul adalah berita tentang pejabat yang baru saja ditangkap karena korupsi. Jumlah uangnya fantastis. Puluhan miliar, ratusan miliar, bahkan kadang sampai triliunan rupiah. Lalu kita lihat fotonya. Wajahnya tersenyum. Tidak tampak seperti orang yang baru mencuri hak jutaan rakyat. Dan anehnya, dalam hitungan minggu, wacana mulai muncul: keluarganya jangan dihukum, asetnya jangan disita semuanya, dia sudah mengembalikan sebagian, dendanya sudah dibayar, mungkin bisa direhabilitasi, dan seterusnya.
Di titik ini, kita sering merasa seperti sedang hidup dalam mimpi buruk yang nyata. Hukum seolah jadi lelucon. Keadilan terasa semakin jauh. Dan kita bertanya dalam hati: kenapa yang jahat bisa tetap hidup nyaman, sementara yang jujur harus berjuang untuk bertahan?
Kalau kamu pernah merasa begitu, kamu tidak sendiri. Ini bukan sekadar kekecewaan pribadi. Ini adalah jeritan hati jutaan orang yang merasa diabaikan oleh sistem. Ini adalah bukti kalau fitrah manusia itu mencintai keadilan. Dan ketika keadilan diinjak-injak, hati pun memberontak. Islam datang membawa pesan utama: keadilan. Maka mari kita bahas semua ini bukan cuma dengan logika manusia, tapi juga dengan cahaya wahyu.
Korupsi Itu Bukan Cuma Soal Uang, Tapi Soal Kehancuran
Seringkali orang memandang korupsi cuma sebatas uang. Tapi sebenarnya ia jauh lebih luas dan dalam. Korupsi adalah bentuk tertinggi dari pengkhianatan publik. Ketika seseorang diberi amanah---menjadi pejabat, pengelola anggaran, penentu kebijakan---lalu ia menyalahgunakan kekuasaannya demi keuntungan pribadi, maka ia sedang menghancurkan fondasi kehidupan banyak orang. Uang yang seharusnya untuk membangun rumah sakit, sekolah, jalan, subsidi, makanan, bahkan obat untuk orang miskin---raib begitu saja karena keserakahan segelintir manusia.
Bayangkan, ada bayi yang meninggal karena puskesmas kehabisan oksigen. Ada ibu yang keguguran karena jalan rusak dan ambulans tidak bisa lewat. Ada siswa yang tidak bisa lanjut sekolah karena beasiswa fiktif. Semua itu adalah akibat dari korupsi. Maka kalau ada yang bilang korupsi itu "bukan kejahatan berat", kita patut bertanya balik: seberapa jauh nurani kita sudah mati?
Dalam Islam, perbuatan mengambil hak orang lain, apalagi secara sistematis dan dalam jumlah besar, termasuk dalam dosa besar. Bahkan Allah SWT menyebut para penguasa zalim sebagai pelaku kehancuran di muka bumi. Mereka bukan cuma merusak secara materi, tapi juga merusak moral, nilai, dan masa depan generasi berikutnya.
Ghulul: Korupsi dalam Pandangan Islam
Istilah korupsi dalam Islam disebut sebagai ghulul. Ini adalah perbuatan menyembunyikan atau mengambil sesuatu dari harta publik atau rampasan perang yang belum dibagikan secara sah. Dalam QS Ali Imran ayat 161, Allah berfirman, "Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (ghulul). Barang siapa berkhianat, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya." Ini peringatan keras kalau harta yang kita curi, sekecil apa pun, akan menjadi saksi dan beban di hari akhir.
Rasulullah SAW bahkan bersikap sangat tegas terhadap pelaku ghulul. Dalam satu peristiwa, seorang sahabat wafat dalam kondisi syahid. Tapi ketika jenazahnya hendak dishalatkan, Nabi menolak. Kenapa? Karena sahabat itu mengambil barang rampasan perang tanpa izin. Lihat betapa beratnya dosa ini. Bahkan mati di medan perang tidak otomatis menghapus dosa ghulul.
Lalu bagaimana dengan orang yang mencuri uang rakyat dalam jumlah besar, hidup mewah, anaknya sekolah di luar negeri, keluarganya tinggal di rumah megah, semuanya dari hasil korupsi? Apakah kita masih akan membelanya cuma karena dia "sudah mengembalikan sebagian"?
Keadilan yang Berat Sebelah Bukanlah Keadilan
Salah satu ciri runtuhnya suatu bangsa adalah ketika keadilan cuma berlaku bagi orang kecil, sementara orang besar kebal dari hukum. Rasulullah pernah bersabda dalam hadits shahih: "Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, apabila orang mulia mencuri, mereka membiarkannya. Tapi kalau orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukum padanya." Beliau lalu menegaskan, "Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku akan potong tangannya."