Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara "Sate Kere" dan "Gembus Susur"

16 Oktober 2019   09:13 Diperbarui: 16 Oktober 2019   09:17 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau ada definisi yang sangat diperdebatkan maka itu adalah definisi kaya dan miskin.

Orang yang banyak harta akan mudah menjudge bahwa orang miskin adalah orang yang tidak punya banyak harta. Atau punya sedikit harta.

Orang miskin akan memberi definisi bahwa orang kaya adalah yang banyak harta dan murah hati. Banyak harta kalau masih pelit maka masih termasuk definisi orang miskin.

Tetapi bahasa Jawa memiliki diksi "kere" untuk miskin dalam cakupan yang lebih luas. "Kere" yang berarti tanpa kualitas. Artinya kata "kere" tidak berdiri sendiri. Ia diikuti oleh kata ikutannya. Misalnya: "kere ati", "kere perasaan", "kere budi pekerti" dan seterusnya. Tidak semata-mata "kere bandha", miskin harta.

Mungkin karena kata "sugih" atau "kere" dalam bahasa Jawa akhirnya bermuara pada kata "suwung". Secara harafiah "suwung" adalah kondisi tidak terikat lagi pada apapun. Tidak terikat pada dunia fisik-material. Dunia fisik-material dipandang semata-mata sebagai sarana dan bukan tujuan. Sarana untuk hal yang bermanfaat.

Kalau ada yang eksotis dari kata "kere" adalah "sate kere".

"Sate kere" adalah sate dari tempe ampas tahu yang disebut gembus. Jadi "sate kere" adalah tempe gembus yang dimasaksajikan dalam format sate (daging).

Diiris sedemikian rupa, diberi bumbu, dan dibakar laksana sate daging. Tampilan dan aroma bisa tidak kalah dari sate daging. Yang membedakan adalah ketika digigitrasakan. Yang mana sate daging dan yang mana "sate kere" tidak akan dapat mengelabui lidah begitu saja.

Selain dalam format sate, gembus juga dibuat "gembus susur". Sebagai produk turunan atau produk bayangan atau produk kw dari tahu susur. Orang Cilacap menyebutnya sebagai tahu brontak.

Di dekat Stasiun Cilacap ada toko kue yang menjual penganan lokal. Bila tahu susur dijual rata-rata Rp1500 - Rp2000, di toko itu dijual Rp5000. Ukurannya? Jumbo! Sesuai dengan harga. Tahu brontak di toko itu adalah perpaduan antara ukuran dan kualitas. Dalam rumus matematika persamaannya adalah (ukuran + kualitas bahan) = (kenyang + puas)

Bagaimanapun, gembus, baik dalam format sate atau "susur", maka ia adalah hanya dalam skema seolah-olah. Seolah-olah daging, seolah-olah tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun