Rupanya lembaga tersebut terbilang baru, saya datang sebagai kepala sekolah ke-4. Karena dianggap memiliki kompetensi yang sesuai --- sarjana dan magister pendidikan yang memiliki pengalaman mengajar delapan tahun dan seabreg sertifikat pelatihan di bidang pendidikan. Saya diamanahi dua lembaga sekaligus, TK dan SD.
Dengan semangat 45 saya mencoba membenahi apa-apa yang belum tertata oleh kepala sekolah sebelumnya. Dalam jangka waktu 3 tahun saya menyelesaikan proses izin lembaga TK sampai akreditasi dan mengurus proses perizinan SD yang juga belum berizin secara bersamaan. Bayangkan, tubuh dan pikiran saya harus terbelah mengurus dua lembaga yang "masih bayi" tersebut.
Saya pintar, saya terampil, saya hebat. Itu yang dikatakan orang lain termasuk para orang tua siswa yang berperan sebagai penerima layanan. Namun di dalam, tidak selalu berjalan mulus. Tuntutan pekerjaan semakin banyak. Ibarat seorang marketing yang berhasil menjual 100 produk, ketika ia berhasil malah ditambah targetnya menjadi 2x lipat. Penjualan harus lebih banyak dari sebelumnya.
Saya pun demikian. Memberikan hasil maksimal, malah dituntut lagi untuk lari lebih kencang. Sampai saya sempat merasa menyesal telah dianugerahi kemampuan.
Ambil pekerjaan yang kamu senangi, pindah ke lingkungan yang penuh penerimaan dan menyenangkan. Di sana kamu akan merasa bahwa bekerja tidak harus sekeras itu. Terlebih jika kamu perempuan.
Benturan pun terjadi di dalam lingkungan kerja, tidak semua rekan kerja siap dan mau diajak berlari kejar target selanjutnya.
Ada yang mendukung dan memiliki ritme lari yang sama, ada juga yang menyatakan lelah bahkan menyerah (ini lebih dominan).
Di sana tangisan saya sempat pecah. Karena merasa benar-benar serba salah. Memperbaiki sistem tidak semudah membalik telapak tangan. Menanamkan budaya kerja yang sesuai dengan nama lembaga yang "kadung besar" pun bukan hal yang mudah.
Dari atas saya ditekan, sementara di bawah merasa disalahkan seolah saya yang terus menerus menekan mereka. "Banyak tuntutan dan harus selalu ontime kalau nyelesain kerjaan," katanya.
Jika boleh diibaratkan, posisi saya saat menjadi leader itu seperti sebuah paku yang digunakan untuk merekatkan, menguatkan dan membuat kokoh kayu yang berserakan. Kayu yang dipaku marah dan mengeluhkan sakit karena terkena tusukan. Sementara mereka tidak tahu kalau paku pun ditekan habis-habisan dari atas kepalanya.
Setiap berapa bulan sekali saya masuk rumah sakit untuk rawat inap karena tipes. Beberapa pekerjaan yang harus selesai harus saya selesaikan sendiri tanpa bisa saya bagi dengan rekan kerja. Karena khawatir dianggap menekan dll.
Ini salah saya. Saya sakit, saya lelah dan bisa dikatakan di tempat itu saya menyerah. Kesehatan mental dan tubuh saya jauh lebih penting. Upah fantastis akhirnya kembali saya tinggalkan, dengan tidak menyanggupi perpanjangan kontrak masa jabatan. Dengan alasan yang masih tampak idealis.