Di sini saya benar-benar merasakan, bahwa ide dan gagasan serta kreativitas memerlukan tempat yang tepat.
Menolak Pekerjaan yang Bertentangan dengan Aqidah
Ternyata tantangan pekerjaan tidak selalu berasal dari luar diri. Kadang gejolak yang ada dalam diri kita sendiri pun bersikeras menjadi rambu-rambu yang begitu tegas.
Bekerja di konsultan media yang gajinya besar dan sesuai dengan passion pun bukan hal yang selalu mulus. Saya pernah mendapatkan tugas untuk menjadi ghost writer untuk seorang penulis yang ingin mengangkat sosok tokoh yang diketahui ternyata penganut aliran sesat.
Tidak akan saya sebutkan namanya, tetapi ketika sesi wawancara untuk bahan tulisan selama semalam suntuk di kediamannya, saya akhirnya sadar bahwa menuliskan buah pikirannya hanya akan memperluas dakwahnya. Tokoh ini bukan lagi beda agama, tetapi menjadi perusak agama yang saya yakini sendiri. Lebih dari itu, dari kaca mata saya, ditilik dari sisi budaya, norma dan Pancasila sekalipun ia tidak masuk kriteria tokoh yang menginspirasi.
Ada yang bilang, "ini hanya pekerjaan. Tinggal tulis lalu lupakan."
Sayangnya tidak untuk saya. Tokoh itu benar-benar meresahkan. Ia mengaku muslim, tetapi tidak menjalankan syariat. Ia tidak solat, berganti pasangan dengan bebas (kisah yang ia paparkan sendiri) dan kejanggalan lainnya. Meskipun penulis yang saya bantu berdalih ingin mengangkat sisi sosial saya tetap tidak bersedia karena biografinya harus tetap saya tulis.
Yang lebih miris lagi ia malah bangga menyampaikan bahwa ia telah melakukan seks bebas dengan teman kakaknya yang sudah SMA di usia SMP tanpa rasa penyesalan hari ini.
Nurani saya tidak mendukung untuk itu. Akhirnya saya tolak pekerjaan dan akibatnya saya "ditandai" atasan dan dianggap tidak profesional meskipun alasannya sudah saya sampaikan.
Mungkin ini terdengar terlalu idealis. Namun percayalah, pekerjaan yang tidak diikuti dengan hati, hanya akan membuat kita makan ati dan membatin selamanya. Jangan buat batinmu tersiksa. Bekerja juga harus happy, tenang dan nyaman bukan?
Mundur sebagai Kepala Sekolah
Menjadi pemimpin itu mudah, tetapi kalau harus menyenangkan semua orang saya menyerah.
Berhenti dari konsultan media karena sepi job di tengah wabah covid, saya memberanikan diri melamar lowongan sebagai kepala sekolah di sebuah lembaga swasta yang cukup mentereng. Sembuh dari kekecewaan diberhentikan sepihak dari lembaga sebelumnya, saya kembali ke dunia pendidikan --- melamar sebagai kepala sekolah.