Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Idul Adha di Perantauan

30 Juli 2020   22:58 Diperbarui: 30 Juli 2020   23:29 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unsplash/Ali Arif Soydas

 Takbir bergema. Bersahutan dengan embus angin dan degup jantungku yang terasa lebih kencang dari biasanya. Ada deru yang memburu di dada ini. Perasaan bercampur aduk. Entah gejolak apa yang sedang aku rasakan. Aku sendiri tidak mampu menerjemahkan.

Langit hitam, gelap telah benar-benar turun. Tinggalah bulan separuh, menggantung di sana. Gendang telingaku dipenuhi suara takbir dari masjid-masjid sekitar, ramai. Tetapi tidak dengan hatiku. Sepi, dingin, dan beku.

Selepas buka puasa magrib tadi, aku hanya duduk termenung di teras rumah. Sebuah bangunan yang melindugiku dari panas dan hujan, tetapi tidak dari rasa keterancaman dan kecemasan. Aku kerap merasa sendiri dan benar-benar sendiri di perantauan.

Keluarga besar di kampung halaman tidak ada yang meneleponku. Bahkan untuk mengirim pesan sekadar bertanya kabar pun sepertinya, .... Ah, aku tidak berani menyebutkan bahwa mereka enggan. Aku selalu mencoba berbaik sangka, mungkin mereka sedang sibuk persiapan Idul Quban. Sebuah hari raya umat Islam yang jatuh esok hari.

Semua orang pasti bahagia berkumpul dengan sanak saudara. Sedangkan aku? Ah, sudahlah. Jarak kampung halaman tidak memungkinkanku pulang sekarang. Nikmati saja, apa yang terjadi di depan mata.

Tanganku meraih ponsel yang kuletakan di meja kerja. Kulepaskan kabel carger dari colokannya. Ponsel itu tergeletak begitu saja semenjak batrainya habis, sengaja kubiarkan penuh terlebih dahulu, tanpa sentuh. Kamu? Aku sengaja tidak menyapamu, mungkin kamu sedang sibuk dengan keluarga besar merayakan santap buka puasa.

Kumainkan layar ponsel, senuah pesan singkat tampil di sana. Samudera mengirim pesan.

"Selamat berbuka puasa, Non. Keberkahan menyertaimu," ucapnya di pesan singkat. Pesan yang telah berlalu tiga puluh menit lamanya.

"Ah, aku telat!" gerutuku. Menyesal tidak menyapanya lebih dulu.

Samudera adalah sosok idola yang selama ini aku harapkan. Entah sejak kapan harapan itu ada. Yang pasti sosoknya tiba-tiba memenuhi rongga dada dan namanya menjadi tema setiap doa.

"Maaf, Mas aku telat balas. Aku kira Mas sedang sibuk merayakan santap buka dengan keluarga seperti biasanya," ucapku basa-basi. Pesan itu kukirim segera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun