Mohon tunggu...
Diannisa Latifah
Diannisa Latifah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang Mahasiswa studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Paradoks Digital: Ketika Agama Jadi Slogan Bukan Kasih Sayang

29 September 2025   13:02 Diperbarui: 29 September 2025   09:51 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar : umj.ac.id)

Era digital telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi setiap individu untuk menyuarakan pendapatnya. Media sosial, blog, hingga kanal video menjadi wadah ekspresi tanpa batas ruang dan waktu. Namun, kebebasan ini ternyata juga melahirkan paradoks baru. Alih-alih memperluas ruang dialog yang sehat, banyak yang justru menjadikan dunia maya sebagai arena pertarungan wacana penuh ujaran kebencian dan polarisasi.

Agama, yang sejatinya hadir sebagai sumber kasih sayang, kedamaian, dan penghormatan terhadap sesama, sering kali direduksi hanya menjadi slogan. Tak jarang, ayat-ayat atau simbol-simbol agama dikutip untuk melegitimasi serangan kepada kelompok berbeda pandangan. Fenomena ini kerap menjadikan ruang digital sebagai ajang “perang identitas” yang tidak lagi menekankan substansi spiritual, melainkan sekadar simbol dan jargon.

Ironi ini semakin menyedihkan karena agama mestinya menjadi fondasi moral yang mempererat tali persaudaraan, bukan memecah belah. Ketika ajaran luhur direduksi menjadi senjata retorika, esensi agama yang menekankan nilai universal—cinta, toleransi, dan perdamaian—tertutupi oleh narasi kebencian. Dalam konteks ini, kebebasan berekspresi justru kehilangan maknanya, berubah menjadi kebebasan untuk menyerang.

Era digital memang mempercepat arus informasi, tetapi sekaligus memperbesar peluang terjadinya misinformasi dan provokasi. Algoritma media sosial yang lebih mengedepankan konten kontroversial demi engagement, secara tidak langsung ikut memperkeruh suasana. Akibatnya, suara-suara moderat sering kali tenggelam, sementara narasi ekstremis menjadi lebih menonjol dan mudah menyebar.

Namun, situasi ini bukan berarti tanpa jalan keluar. Solusi perlu berangkat dari kesadaran kolektif bahwa kebebasan berekspresi di era digital harus dibarengi dengan literasi digital dan literasi agama yang kuat. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk memilah informasi, memahami konteks, serta mengedepankan nilai-nilai universal agama dalam setiap percakapan, baik di dunia nyata maupun maya.

Selain itu, ruang digital seharusnya diarahkan menjadi sarana dialog yang sehat dan inklusif. Peran tokoh agama, akademisi, serta kreator konten positif sangat penting dalam membangun narasi yang lebih damai dan konstruktif. Dengan cara ini, paradoks kebebasan digital bisa diluruskan: bukan lagi menjadi arena konflik, melainkan wadah untuk memperkuat nilai kemanusiaan dan membumikan pesan sejati agama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun