Setiap pagi, Bu Rina membuka status WhatsApp, bukan toko. Dua jam habis untuk scrolling video lucu dan melihat story tetangga. Gawai di tangannya aktif, tapi kantongnya tetap pasif. Bukan karena malas, tapi karena tak tahu bagaimana layar kecil itu bisa membuka peluang besar.
Di tengah gempuran digitalisasi, jutaan orang seperti Bu Rina, baik ibu rumah tangga, pelajar maupun pekerja informal, terjebak jadi penonton. Sementara algoritma dan iklan dikuasai pemain besar, pelaku UMKM lokal tak punya panggung, dan masyarakat hanya menikmati jejak digital, tanpa cuan yang nyata.
Lalu, di mana letak keadilan ekonomi digital? Haruskah semua peluang selalu berpihak pada mereka yang paham coding dan punya modal iklan? Atau mungkinkah ada jalan lain, yang sederhana, gotong royong, dan tetap digital? Rumah Cuan Digital lahir dari pertanyaan itu.
Digitalisasi Tak Cukup Jika Tak Inklusif
Indonesia punya lebih dari 65 juta pelaku UMKM, tapi hanya sekitar 27% yang benar-benar terhubung dengan ekosistem digital (Kemenkop UKM, 2024). Di sisi lain, masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata 5,7 jam per hari dengan gawainya (We Are Social, 2024).
Sayangnya, dua dunia ini berjalan sendiri-sendiri. UMKM tertatih mencari panggung promosi yang terjangkau, sementara jutaan orang hanya mengonsumsi konten tanpa tahu cara monetisasi yang etis dan realistis. Maka tak heran, platform besar seperti Shopee dan TikTok Shop hanya menguntungkan pelaku dengan modal besar dan tim marketing digital.
Bagi pelaku usaha kecil dan pengguna awam, digitalisasi justru menciptakan jurang baru: antara tahu dan mampu, antara punya ide dan punya akses. Iklan digital terlalu mahal, algoritma terlalu rumit, dan literasi digital terlalu timpang. Yang tertinggal bukan karena malas, tapi karena tak punya jembatan.
Ironisnya, ketika masyarakat bawah mencoba "mengais cuan" dari live joget dan konten ekstrem, mereka justru terjebak dalam “digital begging”, menjual ketidaknyamanan, mempertontonkan peluh dan kekonyolan, bahkan seringnya mempertaruhkan kemanusiaan. Tak ada yang menyalahkan sistem, namun individu telah menjadi kambing hitamnya. Padahal, mereka hanya tidak diberi arah.
Rumah Cuan Digital: Jembatan bagi yang Tertinggal
Banyak yang belum sadar, bahwa fitur sederhana seperti Status WhatsApp bisa menjadi etalase digital yang efektif dan nyaris tanpa biaya.