Mohon tunggu...
Dianingtyas Kh.
Dianingtyas Kh. Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Biasa saja, tak ada yang istimewa. http://khristiyanti.blogspot.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Plus Minus Sekantor dengan Suami

18 Februari 2012   01:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:31 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekantor dengan suami? Sungguh, tak pernah terbayang di benak saya ketika saya masih lajang dulu. Namun, takdir ternyata berkata lain, ketika saya justru dipertemukan dengan jodoh saya di tempat saya mengajar. Ketika itu, saya masih berstatus sebagai guru tidak tetap dan ia datang sebagai guru baru di sekolah kami. Setelah menikah, jadilah kami teman sekantor yang juga berstatus sebagai suami istri.

Sebenarnya, tak hanya kami yang berpasangan di kantor kami, tetapi masih ada seorang guru lain yang menikahi kepala Tata Usaha. Alhasil, ada dua pasang suami istri yang bekerja di kantor yang sama. Meskipun sebenarnya kebijakan tak boleh satu kantor dengan suami/istri ini sudah lama digembar-gemborkan oleh BKD, tetapi sampai hari ini kami belum mendapatkan surat mutasi untuk bekerja di sekolah lain. Untuk mengurus pindah pun kami enggan, karena sebenarnya kami sudah merasa sangat nyaman bekerja di lingkungan kerja kami. Oleh karena itu, sebelum ada tangan berkuasa yang memindahkan kami, kami tak akan jemput bola untuk mutasi ke sekolah lain. Bukan karena kami terlalu enak bekerja satu kantor, melainkan karena kami merasa nyaman dengan iklim kerja yang terjalin dengan teman-teman sekantor selama ini.

Ada sisi positif bekerja satu kantor dengan suami, tetapi banyak pula sisi tak nyamannya.
Sisi positifnya, yang pertama tentu lebih hematkarena kami bisa berangkat bersama-sama ke sekolah. Tentunya akan lain perhitungannya jika setiap hari kami berangkat sendiri-sendiri. Yang kedua, salah satu pasangan bisamenjadi “serep” jika salah satu berhalangan. Tentu saja “serep” di sini bukan sebagai pengganti mengajar ketika salah satu berhalangan karena mata pelajaran yang kami ampu berbeda. Namun, untuk tugas-tugas umum, kami bisa saling menggantikan, terutama saya yang biasa menggantikan tugas suami jika dia sedang mendapatkan tugas ke luar kota. Selain itu, kami juga bisa saling mengingatkan jika ada tugas kantor yang lalai kami kerjakan karena kesibukan pribadi.

Sisi negatifnya, karena saya terbiasa menjadi “serep” suami saya, jika ada pekerjaannya yang terlambat untuk dikumpulkan semisal nilai rapor, maka sayalah yang sering menjadi sasaran pertanyaan dari wali kelas yang lain. Selain mengajar, suami saya memang mendapat dispensasi untuk melatih tim sepakbola kota kami sehingga terpaksa sering ke luar kota. Nah, nilai ini terkadang turut pula naik pesawat sehingga tak bisa dikumpulkan tepat pada waktunya.

Oh, ya, banyak orang bilang kalau sekantor dengan suami itu enak karena bisa dekat setiap hari. Ehem. Begitu memang menurut orang, tetapi yang terjadi pada kami justru sebaliknya. Kami justru sangat menjaga jarak karena tak nyaman. Saya bebas bercanda dengan teman-teman, tetapi jengah jika ada suami. Aneh, memang, tetapi itulah yang terjadi. Tak enak rasanya jika sengaja ngobrol dengan suami ketika ada waktu luang. Untunglah, kantor kami beda tempat sehingga ketaknyamanan ini bisa diminimalisir.

Sisi tak enak lainnya, jika anak sakit, maka hanya satu yang bisa izin. Padahal, jika berdua menunggui anak yang sedang sakit, energi yang kita dapatkan tentu semakin besar. Hal ini saya rasakan ketika saya harus mengambil keputusan saat dokter menvonis anak saya untuk opname. Lemas di tempat praktik dokter, tetapi harus menguatkan kaki untuk tetap pulang dulu membawa anak sakit, lalu menyiapkan perlengkapan rawat inapnya.

Setiap hal pasti memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sekantor dengan suami atau istri sebenarnya tak ada buruknya, jika keduanya memiliki niat baik untuk bekerja sebagaimana tugas pokok dan fungsinya. Apa yang dikhawatirkan orang jika sepasang suami istri bekerja di tempat sama, tentu akan kembali kepada kepribadian masing-masing orang. Tak bisalah kita ‘nggebyah uyah’ memukul rata atas sebuah kasus yang dikhawatirkan terjadi pula pada pasangan yang lain. Setidaknya, jika ada kasus yang terjadi, hal itu akan membuat kita becermin untuk kemudian membenahi pribadi masing-masing. Bukan begitu?

Selamat pagi.

-Dian-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun