Saat saya masih berada di SMA (Sekolah Menengah Atas), pada tahun 2022 sekolah saya mengadakan kegiatan study tour. Dan pada saat itu, ada salah satu teman saya yang tidak mampu membayar biaya study tour karena keterbatasan ekonomi. Saat saya dan teman-teman saya tau tetang kondisi ini, membuat kami sebagai teman sekelas merasa kurang lengkap apabila ia tidak ikut serta dalam kegiatan tersebut. Oleh karena itu, saya bersama teman-teman yang lain langsung berinisiatif untuk patungan atau iuran demi membantunya, bahkan ada beberapa wali murid yang turut membantu agar ia tetap dapat mengikuti kegiatan tersebut. Akhirnya teman saya itu bisa ikut study tour bersama kami, dan suasana kelas menjadi jauh lebih kompak serta penuh rasa kebersamaan. Kami semua merasa bangga karena bisa saling mendukung dan tidak membiarkan perbedaan kondisi ekonomi memisahkan kami. Menurut saya, pengalaman ini dapat dijelaskan melalui teori konflik dari Lewis Coser, karena adanya persoalan ekonomi yang berpotensi menjadi sumber konflik justru memunculkan rasa kebersamaan dan memperkuat solidaritas di antara kami (Coser, 1956).
Saya mengenal teori konflik dari Lewis Coser melalui buku The Functions of Social Conflict (Coser, 1956). Dalam buku tersebut, Coser menjelaskan bahwa konflik tidak selalu bersifat negatif, tetapi juga memiliki fungsi positif dalam menjaga dan memperkuat integrasi kelompok. Konflik juga dapat memunculkan kesadaran baru, solidaritas, dan rasa saling peduli. Menurut pemahaman saya, masalah teman sekelas yang hampir tidak bisa ikut study tour adalah bentuk potensi konflik, tetapi respon kami justru menciptakan solidaritas. Kami tidak membiarkan perbedaan kondisi ekonomi memecah kelas, melainkan menjadikannya pemicu untuk memperkuat ikatan dan rasa kebersamaan. Dari sini saya memahami bahwa konflik kecil dalam kelompok, jika dihadapi dengan empati, dapat mempererat hubungan sosial (Ritzer & Goodman, 2014). Dalam konteks yang lebih luas, konflik juga berperan penting di masyarakat. Misalnya, perbedaan pendapat dalam organisasi atau konflik kepentingan antar kelompok sosial sering kali mendorong lahirnya kesepakatan baru dan memperkuat kohesi sosial. Dengan demikian, pengalaman yang saya alami di kelas sebenarnya mencerminkan bagaimana konflik, apabila dikelola dengan baik, dapat memberikan manfaat positif tidak hanya pada lingkup kecil tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat.
Teori konflik ini diperkenalkan oleh Lewis A. Coser, seorang sosiolog modern yang lahir di Berlin, Jerman, pada 27 November 1913, dan meninggal pada tahun 2003 di Cambridge, Massachusetts. Coser banyak dipengaruhi oleh pemikiran Georg Simmel dan tradisi teori konflik dalam sosiologi. Latar belakang sosial-politik Eropa pada masa Perang Dunia II turut membentuk pandangannya tentang konflik sosial sebagai sesuatu yang tidak hanya destruktif, tetapi juga dapat berfungsi menjaga keseimbangan dan memperkuat ikatan dalam kelompok (Soekanto, 2017). Melalui karyanya, terutama The Functions of Social Conflict, Coser menekankan bahwa konflik merupakan bagian alami dari kehidupan sosial yang dapat memberikan kontribusi positif bagi stabilitas masyarakat.
Coser, L. A. (1956). The Functions of Social Conflict. New York: Free Press.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2014). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Soekanto, S. (2017). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI