Mohon tunggu...
Diana Ellyza Ema
Diana Ellyza Ema Mohon Tunggu... Master of Edutech Alumni

Belajar, Menulis, dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keseringan Scrolling Konten Digital Bisa Menyebabkan Brain Rot. Apa Iya?

19 Maret 2025   14:43 Diperbarui: 19 Maret 2025   14:50 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Brain Rot Illustration. Sumber Gambar: https://images.app.goo.gl/pNyhfXQ3dw8sVreH6)

Belakangan rame banget istilah "Brain Rot" bermunculan di konten mini blogger sosmed. Bahkan "Brain Rot" menjadi salah satu kata baru yang dimasukkan dalam kamus Oxford di Tahun 2024. Merujuk pada kamus Oxford tersebut, Brain Rot merupakan kemerosotan mental diakibatkan paparan konten digital berkualitas rendah atau receh atau kurang mendorong aktivitas kognitif secara berlebihan.

Awal mula kemunculan istilah Brain Rot dari adanya istilah-istilah di kalangan gen Z dan gen Alpha yakni Skibidi dan Ohio sebagai kata-kata lucu yang digunakan untuk merendahkan dan merundung orang lain di media sosial. Hal ini, menjadi perhatian serius bahwa kekhawatiran penggunaan konten digital bernilai rendah berdampak pada kesehatan mental dan kekaburan kognitif seseorang.

Saat ini, seluruh platform digital mengembangkan fitur video pendek yang membuat pengguna bisa bertahan lama untuk berada didalam platform tersebut. Seperti tiktok, instagram, youtube short, dan facebook reels. Adapun konten video yang ditampilkan pada platform tersebut sangat beragam dengan ketentuan syarat berlaku sehingga layak diupoad. Lamanya durasi pengguna berselancar melihat konten-konten video pendek bervariatif. Dampak lamanya menonton video pendek dan hubungannya dengan brain rot juga sudah menjadi perhatian peneliti.

Para peneliti mengumpulkan data pencitraan otak beresolusi tinggi menggunakan pemindaian MRI. Pemindaian ini memberikan wawasan ke dalam dua area utama: perubahan struktural di otak (seperti perbedaan volume materi abu-abu) dan aktivitas fungsional (khususnya homogenitas regional yang mengukur sinkronisasi aktivitas saraf dalam area tertentu). Teknik statistik digunakan untuk menganalisis bagaimana karakteristik otak ini berkorelasi dengan tingkat kecanduan video pendek peserta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kecanduan video pendek punya perubahan di otaknya. Bagian otak yang namanya korteks orbitofrontal dan otak kecil jadi lebih besar. Bagian-bagian ini penting untuk merasakan senang, membuat keputusan, dan mengatur perasaan. Membesarnya bagian otak ini bisa bikin orang jadi lebih gampang ketagihan sama video pendek yang sesuai dengan minat mereka, dan akhirnya makin sering nonton terus. Otak kecil, yang biasanya buat gerak, ternyata juga penting buat mikir dan merasakan. Perubahan di otak kecil ini mungkin karena video pendek itu isinya banyak banget hal yang bisa dirasakan dan dilihat, dan terus berubah-ubah.

Secara fungsional, para peneliti mengamati peningkatan aktivitas saraf di beberapa wilayah, termasuk korteks prefrontal dorsolateral, korteks cingulate posterior, kutub temporal, dan otak kecil. Area-area ini terlibat dalam pengambilan keputusan, pemikiran yang merujuk pada diri sendiri, dan pengaturan emosi. Peningkatan aktivitas di wilayah-wilayah ini menunjukkan bahwa kecanduan video pendek dapat memengaruhi sistem penghargaan otak dan kemampuannya untuk mengatur perhatian dan emosi. Misalnya, peningkatan aktivitas di korteks prefrontal dorsolateral dapat mencerminkan gangguan kontrol kognitif. Sementara keterlibatan korteks cingulate posterior menunjukkan proses referensi diri yang terlalu aktif, seperti perbandingan konstan dengan orang lain yang terlihat dalam video pendek.

Temuan ini menunjukkan bahwa kecanduan video pendek dapat menyebabkan perubahan nyata di otak, yang berpotensi memperkuat perilaku kecanduan dan mengganggu fungsi kognitif serta emosional. Namun, penelitian ini masih menjadi perdebatan dan penggalian lebih dalam karena keterbatasannya yang hanya melihat kondisi otak dan kecanduan pada satu waktu saja (disebut cross-sectional). Ini berarti kita tidak bisa memastikan mana yang duluan: apakah perubahan di otak yang bikin orang jadi kecanduan, atau kecanduan itu sendiri yang mengubah otak. Jadi, kita belum bisa bilang kalau perubahan otak itu pasti penyebab kecanduan.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Hutton dkk. (2020) yang menyelidiki hubungan antara penggunaan media berbasis layar dan integritas jalur materi putih di otak yang mendukung perkembangan bahasa dan literasi pada 47 anak usia prasekolah. Hasilny ditemukan bahwa tingkat penggunaan media berbasis layar yang lebih tinggi dikaitkan dengan berkurangnya integritas mikrostruktur saluran materi putih otak yang bertanggung jawab atas bahasa, fungsi eksekutif, dan keterampilan literasi yang sedang berkembang. Maka, hal ini menunjukkan potensi dampak negatif penggunaan media layar terhadap perkembangan otak anak pada usia dini.

Lalu, apa aja sih yang temasuk gejala Brain Rot?

  • Kabut mental dimana pikiran jadi bingung dan tidak jernih. Ini bisa terjadi karena otak kita terlalu banyak menerima informasi dari notifikasi, banyak layar, dan media sosial. Orang yang mengalami ini biasanya merasa sulit berpikir, seperti "tidak fokus" atau capek mental tanpa tahu kenapa.
  • Doomscrolling melibatkan pencarian informasi yang menyedihkan dan berita negatif. Doomscroller merasakan keinginan yang sangat besar untuk mendapatkan informasi terkini, bahkan saat informasi tersebut mengganggu.
  • Sulit Berkonsentrasi, Kemampuan untuk konsentrasi itu sangat penting banget dalam bekerja dan menyelesaikan tugas sehari-hari. Kalau otak kita terganggu, kita menjadi lebih sulit fokus. Misalnya saat baca buku, kerja, dan ngobrol. Susah fokus ini bisa bikin kita jadi kurang produktif dan lebih sering salah yang akhirnya bikin kita makin frustrasi dan merasa tidak bisa apa-apa.
  • Perubahan suasana hati, seperti jadi lebih gampang marah, cemas, dan berubah-ubah, sering terjadi kalau otak kita terganggu. Perasaan ini bisa muncul karena stres dan frustrasi akibat otak yang tidak bekerja dengan baik. Ini jadi seperti lingkaran: otak yang bermasalah bikin perasaan jadi tidak enak, dan perasaan yang tidak enak bisa bikin otak makin sulit bekerja. Kalau otak terus-terusan capek, ini bisa menyebabkan masalah kesehatan mental yang lebih serius, seperti depresi.
  • Kesulitan bahasa, orang mungkin jadi sulit bicara seperti susah mencari kata yang tepat saat ngobrol atau sulit mengerti kalimat yang panjang dan rumit. Hal ini bisa terjadi kalau otak kita terlalu lelah akibat kebanyakan pakai teknologi, kemampuan kita untuk menggunakan bahasa bisa terganggu. Ini bisa bikin kita jadi sulit berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, baik konteks pribadi maupun profesional.
  • Memori Terganggu, Ketergantungan digital yang meningkat telah terbukti mengganggu memori manusia. "Efek Google," istilah yang dicetuskan oleh Sparrow dkk. (2011), menunjukkan bahwa individu cenderung tidak mengingat informasi ketika mereka tahu bahwa informasi tersebut dapat diakses dengan mudah secara daring. Ketergantungan ini melemahkan kemampuan kita untuk mengingat fakta sehingga mengurangi keterampilan analitis dan retensi yang kritis.
  • Kelelahan mental, yang sering kali diakibatkan oleh meningkatnya waktu menonton layar, dapat bermanifestasi sebagai sakit kepala, mudah tersinggung, dan kecemasan. Sebuah studi oleh Hallowell (2010) menjelaskan bagaimana interaksi digital yang berkelanjutan dapat menimbulkan stres, sehingga menyulitkan individu untuk melepaskan diri dan mengisi ulang tenaga.

Kemudian, bagaimana cara kita mencegah terjadinya Brain Rot dalam diri kita?

Masalah brain rot ini bikin khawatir kalau terus terjadi tanpa diatasi. Cara mencegahnya adalah dengan sadar kalau kita punya masalah ini, berusaha untuk mengurangi penggunaan teknologi, dan melakukan kegiatan yang melibatkan fisik, seperti ketemu teman dan olahraga. Aktivitas fisik seperti olahraga sangat penting untuk kesehatan otak, karena meningkatkan neurogenesis dan fungsi kognitif secara keseluruhan. Selain itu, jenis konten yang dikonsumsi memainkan peran penting dalam membentuk anatomi otak. Fokus pada kualitas dan kuantitas waktu layar. Prioritaskan konten edukasi yang menghindari fitur adiktif. Tetapkan batasan yang jelas dan sesuai usia pada penggunaan layar harian dan anjurkan istirahat secara teratur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun