Oleh: Arief Akbar, Bsa
mengenali cita rasa dalam berkarya melalui seni sastra tak ubahnya bagai mengais seremonial tak berbatas diantara lautan sastra yang tak bergaram. Bukan soalan kandungan dalam kekuatan imaji sastranya melainkan persoalan individu yang tak berbasis memiliki kompetensi standar kelayakan dalam menuangkan dan menciptakan suatu karya sastra.
Dalam berbagai konteks untuk memahami kapasitas pendalaman dunia sastra tak hanya di dominasi para akademisi melainkan dalam ukuran tertentu terutama tentang kebebasan universal pada cipta tuang, lebih didominasi oleh pengakuan okupasi pelaku sastra yang mengusung kecenderungannya pada tendensi klaim individu merasa lebih populer.
Istilah populer dalam karya sastra pop tak akan terlepas dari sastra adiluhung dimana keduanya hanya sebagai pembeda pada batasan tertentu berdasarkan kesepakatan. Dan bilamana sesuatu hal yang mengacu pada sebuah nilai-nilai kesepakatan, tentu saja itu adalah non akademik dimana pada garis besarnya kedua jenis tersebut hanyalah batasan siluet kesusastraan semata. Keduanya tidak berdampak pada esensial barometer standar karya-karya bermutu, melainkan lebih menekankan pada unsur pengkultusan yang memiliki kepentingan tertentu terutama pada hasrat merasa lebih hebat dalam berkarya.
Menelisik tentang hasrat merasa lebih hebat dalam berkarya tentu saja ada sisi lain menyiratkan bahwa keinginan yang kuat dan mendalam untuk menciptakan sesuatu, berkontribusi, atau menghasilkan karya, dapat menjadi motivasi yang lebih kuat daripada faktor lain dalam mendorong individu untuk berkarya. Hasrat ini pula bisa berupa passion, keinginan untuk berprestasi, atau tujuan hidup yang ingin dicapai melalui karya.
Secara internal hasrat yang kuat berasal dari dalam diri, bukan dari tekanan eksternal. Ini adalah dorongan alami untuk menciptakan sesuatu yang lebih jauh bermakna dan bukan kosong belaka. Hasrat yang membara memang benar dapat menjadi bahan bakar yang berkelanjutan untuk terus berkarya, bahkan dalam jangka waktu yang panjang sekalipun akan selalu dipenuhi dengan catatan-catatan perjalanan literatur analitik karya yang semakin muncul di permukaan dan bermanfaat bagi masyarakat luas tanpa pengkultusan individu pribadi yang memasungnya.
Dengan kata lain, okupasi sastra dalam kekaryaan akan menekankan pentingnya memiliki dorongan internal yang kuat sebagai sumber energi untuk berkarya, daripada hanya mengandalkan faktor eksternal seperti imbalan materi atau tekanan sosial dan pengkultusan jati diri yang memenjarakan individu tersebut terhadap proses perjalanan karya-karyanya.
Red-Radit Indragunawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI